Jumat, 06 Mei 2011

Hinata's Upside Down Life (chapter 7)

.
.
Bel pulang akhirnya berbunyi. Hinata mengemas barangnya dengan cepat. Dia ada janji dengan Gaara. Tapi bukan kencan. Hanya ingin menanyakan sesuatu. Tentang si Uchiha Sasuke tentunya. Namun perjalanan keluar tidaklah terlalu mulus.
"Minggir!" perintah Sasuke yang merasa jalannya dihalangi oleh Hinata.
"Memangnya kau pikir jalan di kelas ini adalah milikmu?" tanya Hinata yang langsung menutup mulutnya. Jangankan jalan di kelas mereka, seluruh sekolah ini adalah milik Uchiha. Dan Hinata baru ingat tentang hal itu.
Sasuke merendahkan tubuhnya setinggi Hinata dan berbisik di telinganya. "Jalan ini memang milikku."
Wajah Hinata memerah. Bisikan Sasuke di telinganya membuatnya sedikit merinding. 'Dia benar-benar menyeramkan,' pikir Hinata.
.
.
Bel pulang akhirnya berbunyi. Hinata mengemas barangnya dengan cepat. Dia ada janji dengan Gaara. Tapi bukan kencan. Hanya ingin menanyakan sesuatu. Tentang si Uchiha Sasuke tentunya. Namun perjalanan keluar tidaklah terlalu mulus.
"Minggir!" perintah Sasuke yang merasa jalannya dihalangi oleh Hinata.
"Memangnya kau pikir jalan di kelas ini adalah milikmu?" tanya Hinata yang langsung menutup mulutnya. Jangankan jalan di kelas mereka, seluruh sekolah ini adalah milik Uchiha. Dan Hinata baru ingat tentang hal itu.
Sasuke merendahkan tubuhnya setinggi Hinata dan berbisik di telinganya. "Jalan ini memang milikku."
Wajah Hinata memerah. Bisikan Sasuke di telinganya membuatnya sedikit merinding. 'Dia benar-benar menyeramkan,' pikir Hinata.
ARA!
Hinata mengambil note book dan penanya dari tas. Lalu menuliskan sebuah kalimat.
4. Uchiha Sasuke is Horrible
Seperti biasa. Hinata membuat karikatur wajah menyeramkan di bawah tulisannya.
"Apa yang kau tulis?" tanya Sasuke. Dia masih penasaran.
"Tugas dari Kakashi-sensei," jawab Hinata sambil tersenyum dan kemudian berlalu meninggalkan Sasuke.
"Kenapa lama sekali keluarnya?" tanya Tenten yang sudah keluar duluan dari kelas.
"Mengerjakan tugas" jawab Hinata yang masih tersenyum.
"Kau tidak ingin pulang bersamaku?" ajak Tenten.
"Kau duluan saja. Aku ingin bertemu dengan Gaara sebentar," jawab Hinata.
"Oh. Ya sudah kalau begitu. Aku duluan ya," ucap Tenten sambil melambaikan tangannya.
Hinata membalas lambaian tangan Tenten dan beranjak ke lapangan basket. Tempat di mana Gaara menyuruhnya untuk menemuinya sepulang sekolah.
Sasuke melihat dari jauh Hinata yang sedang menghampiri Gaara.
'Gaara? Bagaimana Hyuuga bisa kenal dengan Gaara?' tanya Sasuke dalam hati.
Dia sedang berada di atap sekolah saat istirahat tadi. Sehingga Sasuke tidak mengetahui tentang pertandingan basket antara Hinata dan Gaara.
"Ayo kita pulang Sasuke," ajak Sai yang tiba-tiba muncul.
Sepertinya pemuda yang satu ini suka sekali muncul secara tiba-tiba.
'Tch! Kenapa aku harus peduli dengan gadis Hyuuga itu.' Sasuke kemudian mengikuti langkah Sai menuju mobil yang menjemput mereka.
"Maaf membuatmu menunggu," sapa Hinata saat menghampiri Gaara yang sedang duduk di pinggir lapangan.
"Tidak masalah," jawab Gaara sambil tersenyum. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Begini. Aku dapat tugas dari Kakashi-sensei. Mendeskripsikan seorang Uchiha Sasuke," jelas Hinata.
Gaara tertawa mendengarnya. Kenapa Kakashi harus memberikan tugas sekonyol itu kepada siswi baru ini. Pasti Kakashi memiliki maksud tertentu.
"Apa hanya kau yang mendapat tugas ini?" tanya Gaara.
Hinata menggeleng. "Sasuke juga."
Benar dugaannya. Kakashi memang memiliki maksud tertentu terhadap mereka berdua.
"Apa saja yang sudah kau buat?" tanya Gaara lagi.
Hinata menyerahkan note book-nya. Gaara tertawa makin keras saat melihat isinya.
"Sepertinya tidak berjalan dengan baik ya?" Gaara mengejek.
"Makanya itu aku membutuhkan bantuanmu. Kau pasti tahu tentang dia kan?" tanya Hinata.
"Ya. Aku memang berteman dekat dengan Uchiha Brothers itu. Namun aku tidak bisa membantu banyak. Aku hanya bisa menceritakan beberapa hal dan memberi saran. Yang mana dulu yang kau inginkan?" jawab Gaara seraya balik bertanya.
"Cerita dulu," jawab Hinata cepat.
"Aku tidak tahu ini bisa masuk hitungan atau tidak. Tapi Sasuke itu adalah tipe orang setia," Gaara memulai ceritanya.
"Meskipun banyak gadis yang menyukai dia dan Sai, tapi mereka tidak pernah berpaling. Seperti Sai. Sejak kecil dia hanya menyukai satu orang gadis. Gadis itu adalah teman dekatnya. Meski tidak pacaran, tapi mereka selalu terlihat bersama. Namun sekarang gadis itu sedang melakukan perjalanan keliling dunia untuk memberikan seminar di bidang botani. Dia gadis yang sangat mencintai lingkungan. Sai mengaku padaku masih sering berhubungan dengan gadis itu. Tapi Sasuke bilang, gadis itu sudah lama tidak memberi kabar kepada Sai. Namun Sai tetap saja tidak pernah berkencan dengan gadis lain," jelas Gaara.
"Kalau Sasuke bagaimana?" tanya Hinata yang mulai tertarik dengan cerita Gaara.
"Kekasihnya . . . dinyatakan meninggal setahun yang lalu akibat kecelakaan. Mobil yang dikendarainya tenggelam di sungai. Mobilnya ditemukan, namun jasadnya tidak. Mereka sudah melakukan pencarian selama satu tahun terakhir ini. Tapi hasilnya nihil. Mereka mulai menyerah dan akhirnya menyatakan kalau gadis itu sudah meninggal. Sasuke benar-benar terpukul. Aku sama sekali tidak pernah melihat dia dekat dengan gadis lain sejak saat itu," lanjut Gaara.
Hinata terdiam. Dia tahu benar bagaimana rasanya patah hati. Namun dirinya, Sai, dan Sasuke memiliki kisah yang berbeda. Tapi tetap saja yang namanya patah hati itu sangat menyakitkan.
"Mungkin hanya itu yang bisa ku ceritakan. Dan mengenai saranku, kenapa tidak berkencan saja denganku?" goda Gaara.
Ekspresi Hinata langsung berubah. "Tidak. Terima kasih," ucap Hinata.
"Eh, tunggu-tunggu! Aku hanya bercanda."
Gaara menahan lengan Hinata yang sudah berniat untuk pergi.
"Aku hanya ingin menyarankan, lebih baik kau bicara dengan Kakashi-sensei tentang masalah ini. Minta tenggang waktu darinya. Mengingat kau adalah siswi baru, ini bukanlah hal yang gampang," kata Gaara.
"Mm. Benar juga," Hinata mengiyakan.
"Arigatou Gaara-san!" ucap Hinata sambil membungkuk.
"Panggil Gaara saja."
"Ah, iya. Arigatou Gaara-kun."
"Ya, setidaknya itu lebih baik."
Hinata menentukan orang yang akan dia temui selanjutnya.
Kakashi-sensei.
Namun sebelum dirinya benar-benar pergi, Gaara memanggilnya lagi.
"Cobalah berteman dengan Sasuke."
.
.
.
"Kenapa belum pulang Ms. Hyuuga?" sapa Kakashi saat Hinata menemuinya.
"Panggil Hinata saja Sensei. Saya ingin minta tenggang waktu untuk mengumpulkan tugas saya," pinta Hinata.
"Oh. Tentang tugas itu ya. Tapi itu kan masih seminggu lagi."
"Saya tidak yakin bisa menyelesaikannya dalam waktu seminggu."
"Baiklah. Kalau begitu serahkan saja saat kamu sudah menyiapkannya," Kakashi mengambil keputusan.
"Benarkah. Arigatou Sensei!"
Hinata tertawa girang. Rasanya ingin sekali dia memeluk gurunya yang tampan itu. Tapi sebuah suara menghentikan niatnya.
"Belum pulang Kakashi-kun?" tanya seorang wanita.
"Sebentar lagi Hana. Siswiku ini sedang membicarakan tentang tugasnya," jawab Kakashi lembut.
"Sepertinya aku belum pernah melihat gadis ini," kata Hana.
"Dia adalah siswi baru di sekolah ini. Dia baru masuk hari ini. Tentu saja tidak menyenangkan jika di hari pertamanya dia sudah masuk UKS," jelas Kakashi.
"Wah! Dia manis sekali. Saya Kimujun Hana. Saya dokter di sekolah ini," Hana memperkenalkan dirinya kepada Hinata.
"Hyuuga Hinata," jawab Hinata sambil membungkuk seperti biasanya. Dia merasa pinggangnya mau patah karena melakukan hal ini berkali-kali.
"Pulanglah Hinata. Dan ada satu saran untukmu. Cobalah berteman dengan Uchiha Sasuke. Maka tugasmu akan bisa cepat selesai," saran Kakashi.
'Kenapa saran Kakashi-sensei bisa sama dengan Gaara?' Hinata bingung.
"Tugas apa?" tanya Hana pada Kakashi.
"Akan ku jelaskan dalam perjalanan pulang," jawab Kakashi sambil menarik tangan Hana untuk berjalan bersamanya.
"Sampai jumpa Hinata," ucap mereka serentak.
Hinata hanya tersenyum melihat kedua gurunya. 'Mesra sekali,' pikirnya.
.
.
.
Sasuke sampai di rumahnya. Dia mengacuhkan pelayannya yang menyuruhnya untuk makan siang.
"Nanti saja. Aku ingin istirahat sebentar," ucapnya seraya masuk ke kamar.
Sasuke memang tidak pernah menikmati waktu makannya. Karena dia harus melakukannya sendirian. Orang tuanya jarang sekali berada di rumah. Berbeda dengan orang tua Sai yang mengurus bisnis Uchiha di Jepang, orang tua Sasuke mengurusi bisnis Uchiha di luar negeri. Ibunya ikut bersama ayahnya. Sasuke juga diajak bersama keluarganya, namun dia lebih memilih untuk menetap di Jepang. Karena dia tidak ingin meninggalkan gadis yang sangat dicintainya. Gadis, yang sekarang justru meninggalkannya.
Sasuke duduk di tepi ranjangnya. Di samping ranjangnya terdapat sebuah meja. Sasuke membuka laci meja tersebut dan mengambil beberapa lembar foto dari dalam laci. Foto-foto tentang masa lalunya bersama seorang gadis, yang sudah mengisi hatinya sejak mereka masih duduk di bangku SMP.
Sasuke ingat sekali saat dia meminta gadis itu untuk menjadi pacarnya. Dia tidak menyangka kalau mereka bisa menjalani hubungan lebih dari 3 tahun. Sasuke bahkan sempat berikrar bahwa gadis ini adalah cinta pertama dan terakhirnya.
Namun kecelakaan itu mengubah segalanya. Ternyata mereka berpisah dengan cara yang lain. Cara yang benar-benar membuat Sasuke hampir kehilangan semangat hidup. Dia bahkan sempat mengalami insomnia. Karena setiap dia tidur, dia akan bermimpi buruk tentang gadis itu. Akhirnya Sasuke diberikan terapi selama beberapa minggu untuk menekan mimpi buruknya.
Cara itu terbukti cukup berhasil. Sasuke akhirnya bisa tidur dengan nyenyak, walaupun bayangan tentang gadis itu tidak pernah hilang dari ingatannya. Bahkan sampai hari ini. Jika saja kecelakaan itu tidak terjadi, hubungan mereka sudah genap 4 tahun sekarang. Dan seharusnya Sasuke merasa bahagia hari ini, bukan bersedih.
Sasuke berbaring di atas ranjangnya dan memejamkan matanya. Setiap hembusan nafasnya mengingatkannya pada nama gadis yang masih sangat dicintainya. Dan meskipun matanya terpejam, dia bisa melihat wajah gadis itu sedang tersenyum padanya. Namun dirinya merasa sedikit terusik. Karena ada bayangan lain yang ternyata mencoba masuk ke dalam pikiran Sasuke.
Hyuuga Hinata.
Kenapa tiba-tiba Sasuke mengingat nama itu? Dia memang berbeda dengan gadis lain. Dia tipe gadis pemalu yang bisa menjadi sangat kuat jika keadaan mendesaknya. Sasuke membuka matanya.
'Kenapa aku bisa memikirkan gadis Hyuuga itu?' Sasuke hanya menggeleng.
"Konan," bisiknya pelan.
.
.
.
Hinata merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hari yang panjang dan melelahkan sepertinya masih enggan untuk berakhir. Dia meraih note book di dalam sakunya dan kembali membacanya.
'Apa aku memang harus berteman dengannya?'
Sesaat Hinata terpikir akan Naruto. Biasanya Naruto selalu mampir ke rumahnya saat pulang sekolah seperti ini. Dia juga akan menemani Hinata makan siang saat ayahnya berada di kantor. Tapi hari ini terasa sangat berbeda. Dia harus beradaptasi dengan cepat. Dia tidak mau terus-terusan memikirkan masalah itu.
Jika saja kejadian malam itu tidak terjadi, mungkin sekarang dia masih berada di rumahnya, masih bermain dengan sahabatnya, masih berpacaran dengan Naruto. Hinata menggelengkan kepalanya. Dia berusaha berhenti memikirkan tentang hal itu.
Hinata kembali melihat note book di tangannya. Semua dipenuhi dengan nama Uchiha Sasuke. Dia kembali mengingat sosok Sasuke dan Sai. Mereka terlihat mirip. Sama-sama tampan, berkulit pucat, memiliki bola mata dan rambut yang hitam. Namun Hinata merasa bahwa Sai jauh lebih menyenangkan dibanding Sasuke. Dia terlihat lebih ramah jika dibandingkan dengan Sasuke yang arogan. Tapi kenapa hanya nama Sasuke yang sering terngiang-ngiang di benaknya.
"Huff. Pasti karena tugas ini. Aku harus menyelesaikannya dengan cepat agar aku bisa melupakannya dengan cepat pula."
Hinata tidak menyambung gerutunya saat ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk ternyata. Dan itu dari Temari.
"Moshi-moshi," Hinata menjawab teleponnya.
"Aku tidak menyangka kau benar-benar putus dengan Naruto," Temari berbicara di ujung telepon.
"Ya. Dan tanpa alasan yang jelas," Guren menyambung.
'Pasti teleponnya di-handsfree,' pikir Hinata.
"Sebenarnya ada apa Hinata? Ceritakan pada kami." Tampaknya hanya Tayuya yang masih memiliki akal sehat.
"Aku sudah bilang tidak ada apa-apa," jawab Hinata.
"Kenapa kau kejam sekali Hinata. Satu hari ini Naruto terlihat sangat murung. Dan itu pasti karena hubungan kalian yang telah berakhir," jelas Temari.
Hinata hanya tertawa lirih.
"Kenapa kau tertawa? Kau senang ya melihat Naruto seperti itu?" tanya Guren tak sabaran.
Hinata hanya diam. Ingin sekali rasanya dia menjawab 'Ya'.
"Ayolah Hinata. Aku tahu kau pasti punya masalah dengan Naruto. Kenapa tidak menceritakannya kepada kami?" hanya Tayuya yang masih mampu mengendalikan emosinya.
Tidak. Hinata tidak boleh menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dia tidak mau pandangan orang lain berubah kepada Naruto karena masalah ini. Dengan kata lain, Hinata harus melindungi Naruto. Meskipun dia yang akhirnya dibenci oleh sahabatnya. Toh dia juga sudah pindah sekolah. Pasti hal itu tidak akan berpengaruh besar.
"Kau ingin bilang kalau itu bukan urusan kami?" Temari menyela.
"Ya," jawab Hinata pelan dan menutup teleponnya.
Dia kemudian menon-aktifkan ponselnya. Sepertinya dia perlu mengganti nomor ponselnya. Dia benar-benar ingin meninggalkan masa lalunya jauh di belakang mulai dari detik ini.
Padahal baru saja dia merasa luar biasa hari ini. Dia banyak melakukan hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Dia melupakan norma-norma sebagai seorang Hyuuga yang selalu dingin, diam, sabar. Dan itu semua tidak berlaku hari ini. Tapi kenapa dirinya yang sedang di atas angin kini harus jatuh lagi gara-gara sebuah nama, yang sebenarnya belum mampu dia lupakan seluruhnya.
"Naruto," bisiknya pelan.
.
.
.
Naruto melirik jam dindingnya.
11.30.
Sudah jam segini, tapi matanya masih enggan untuk terpejam. Menjemput mimpi pun sepertinya menjadi hal yang sulit. Ada hal yang terus berkecamuk di pikrannya. Dan hal itu tidak mau pergi. Bayangan kejadian pada Sabtu malam ketika Hinata memergoki dirinya dengan Sakura. Di malam saat Sakura berniat untuk menepati janjinya. Janji yang hanya berlaku bagi orang yang belum berpikiran dewasa.
Naruto tahu dirinya merasa menyesal. Masih banyak cara yang bisa dilakukan Sakura untuk membalas kebaikannya. Tapi kenapa Naruto harus setuju dengan cara yang itu. Dia memang masih terlalu muda dan belum mampu berpikir secara matang. Meskipun keputusan-keputusan yang terlahir dari pemikirannya sebagai pemimpin selalu menjadi keputusan yang jitu dan tak pernah salah.
Tapi mengapa? Mengapa saat berhubungan dengan soal asmara, Naruto justru mengambil keputusan yang salah. Keputusan yang akhirnya menyakiti Hinata, gadis yang sudah menjadi pacarnya selama hampir 2 tahun. Namun jika boleh jujur, Naruto sama sekali tidak mencintai Hinata. Mungkin hanya sebatas sayang. Entah sayang terhadap teman, atau adik perempuan.
Hinata adalah sosok gadis pemalu nan polos. Dia bahkan tidak pernah menyakiti perasaan orang lain. Sikapnya yang selalu menenangkan orang lain, membuatnya menjadi mustahil untuk dibenci. Karena itu tidak sulit bagi Naruto untuk berbuat baik dan bersikap selayaknya seorang pacar bagi Hinata. Setidaknya semua orang juga mengakui kemesraan mereka sebagai sepasang kekasih.
Sedari dulu Naruto sudah merasa bersalah kepada Hinata. Kenapa dia tidak mampu membalas cinta Hinata yang begitu tulus untuknya. Dia ingat sekali Hinata selalu memperhatikan dirinya dari kejauhan. Namun gadis itu tidak pernah berani muncul di hadapannya. Wajahnya yang selalu memerah jika Naruto ada di dekatnya. Memainkan kedua telunjuknya secara bersamaan saat Naruto sedang mengajaknya bicara. Hanya Naruto yang ada di hatinya.
Bahkan saat Naruto melihat senyum bahagia Hinata saat dia memperlakukan Hinata sebagai pacarnya, membuat Naruto semakin merasa terpojok. Karena sesungguhnya itu semua hanyalah kepalsuan. Kepalsuan yang telah dirancang olehnya dan Sakura sejak pertama kali Naruto menceritakan kepada Sakura bahwa sang calon pewaris Hyuuga adalah pemuja rahasianya.
Naruto sadar bahwa ini adalah sesuatu yang tidak baik. Tapi dia telah buta. Buta oleh cintanya terhadap Sakura. Gadis yang sejak pertama kali Naruto mengenal cinta, sudah ada di hatinya. Bahkan hingga sekarang. Dia rela melakukan apa saja untuk Sakura. Meskipun dia tidak bisa memiliki Sakura seutuhnya, setidaknya Sakura memiliki sedikit ruang di hatinya akan kehadiran Naruto. Baginya, itu sudah cukup.
Usia yang sedikit jauh berbeda membuat Naruto tidak bisa berharap banyak dari Sakura. Ia ingat betul perkataan Sakura kemarin malam.
Memangnya apa yang bisa kau berikan untukku selain hatimu?
Naruto tertawa lirih. Ingin saja rasanya dia menjadi pemilik dari uang yang beredar di seluruh dunia ini, dan memberikannya kepada Sakura. Apapun, agar Sakura bisa menjadi miliknya. Hanya miliknya. Dan bukan milik Hyuuga Hiashi. Orang yang sudah dia anggap sebagai ayahnya sendiri. Karena Hiashi telah mempercayakan Naruto untuk menjaga Hinata.
Sepertinya malam ini, kedua nama gadis ini terus berperang untuk mendominasi di dalam pikiran Naruto yang sudah cukup lelah satu hari ini. Sakura tidak menghubunginya, begitu pula Hinata. Apa Hinata betul-betul sudah melupakannya?
Bodoh!
Apa lagi yang dia harapkan dari Hinata. Tentu saja Hinata sudah patah hati. Jika boleh memilih, mungkin dia akan mencampakkan Naruto dari dunia yang dia tinggali. Tapi itu tidak mungkin. Selama mereka masih tinggal di bawah langit yang sama, mereka pasti akan bertemu lagi. Meski telah menjadi sosok yang berbeda.
Naruto menutup wajahnya dengan bantalnya. Berharap kantuk akan segera datang dan menelannya ke dalam tidur yang nyenyak. Sudah hampir tengah malam. Namun insomnialah yang mungkin akan menjadi temannya malam ini.
"Sakura," bisiknya pelan.
.

Hinata's Upside Down Life (chapter 6)

Hinata berjalan dengan malas dan duduk di salah satu bangku yang mengarah ke lapangan basket sekolah. Bisa dia lihat beberapa siswa sedang bermain di sana. Blazer mereka letakkan sembarangan di pinggir lapangan. Meskipun ada lebih dari 5 orang yang bertanding di satu lapangan, tapi Hinata hanya melihat satu orang yang benar-benar bermain dengan bagus. Caranya men-dribble bola, mencetak poin, sungguh menawan.
Dia jadi ingin bermain basket lagi. Terakhir kali dia bermain basket adalah saat latihan mingguan bersama Temari. Dan itu sudah lama sekali.
Hinata berjalan dengan malas dan duduk di salah satu bangku yang mengarah ke lapangan basket sekolah. Bisa dia lihat beberapa siswa sedang bermain di sana. Blazer mereka letakkan sembarangan di pinggir lapangan. Meskipun ada lebih dari 5 orang yang bertanding di satu lapangan, tapi Hinata hanya melihat satu orang yang benar-benar bermain dengan bagus. Caranya men-dribble bola, mencetak poin, sungguh menawan.
Dia jadi ingin bermain basket lagi. Terakhir kali dia bermain basket adalah saat latihan mingguan bersama Temari. Dan itu sudah lama sekali.
Hinata memperhatikan dengan seksama siswa yang bermain dengan bagus itu. Rambutnya berwarna merah. Dalam hati Hinata bergumam, 'Lagi-lagi orang berambut merah.' Keringat mengalir dari dahinya yang memiliki tato bertuliskan 'Ai'. Hinata heran. Kenapa pihak sekolah mengizinkan siswanya tatoan. Sekolah ini benar-benar aneh pikirnya.
Bicara soal aneh, note book yang dipegang Hinata juga menunjukkan keanehan. Dari 20 nomor yang dia harapkan, hanya 2 saja yang berisi tulisan.
1. Uchiha Sasuke is handsome
2. Uchiha Sasuke is cool
Hinata menghembuskan nafas panjang. Bertanya kepada siswi lain tidak membuahkan banyak hasil. Saat Hinata bertanya 'Apa pendapatmu tentang seorang Uchiha Sasuke?' kepada mereka, yang mereka lakukan pertama kali adalah berteriak 'Kyaaa, Sasuke-kun!', kemudian menjawab dengan salah satu tulisan di atas, lalu bertanya 'Kenapa kau menanyakan hal itu?'. Setiap selesai bertanya kepada siswi-siswi itu, Hinata akan menjelaskan bahwa itu adalah tugas dari Kakashi-sensei. Dan setelah itu, siswi-siswi yang ditanyai Hinata pasti akan berteriak lagi 'Kyaaaa, Kakashi-sensei!'.
Hinata sempat kepikiran untuk menyumbat lubang telinganya jika bertanya lagi kepada siswi lain. Tapi Hinata mengurungkan niatnya saat perutnya keroncongan. Dia belum ada makan setelah sarapan tadi pagi. Tiramisu yang dibelinya bersama Tenten juga sudah berserakan di lantai kantin dan sebagian telah mengotori kemeja Sai. Seharusnya dia tidak membiarkan Tenten membawa tiramisu milik mereka berdua sendirian.
Hinata menutup note book-nya yang hanya seukuran dompet dan menyimpannya di saku blazernya. Dia harus makan agar punya tenaga untuk menyelesaikan tugasnya. Hinata tidak sadar kalau beberapa orang sedang mengikutinya dari belakang. Tidak pingsan saja sudah syukur.
Hinata meletakkan semua makanan yang dibelinya di atas sebuah talam. Setelah membayarnya, Hinata beranjak untuk mencari tempat duduk. Namun langkah Hinata terasa ganjil karena ada kaki yang menghalangi jalannya.
BRUUUKK
Seluruh penjuru kantin diisi riuh tawa oleh para siswa. Hinata menyadari apa yang sedang terjadi dan segera bangkit. Di depannya, Karin dan beberapa orang di belakangnya sedang menertawakan dirinya. Baru saja Karin menyandung kaki Hinata sehingga dia dan talam berisi makanan yang dibawanya jatuh ke lantai. Lagi-lagi, makanannya berserakan di lantai.
"Uups. Aku tidak sengaja," ucap Karin sambil meninggalkan Hinata dan diikuti oleh teman-temannya.
Hinata mulai lemas. Hampir saja dia pingsan saat jatuh tadi. Tapi dia berhasil bangkit karena ada perasaan yang membantunya untuk berdiri. Perasaan yang tidak ingin dipermalukan. Hinata melempar pandangannya ke seluruh sisi kantin. Dia butuh sesuatu yang segar. Akhirnya dia menemukan sebuah juice bar di salah satu sudut kantin. Hinata mengambil langkah cepat sebelum dirinya benar-benar ambruk.
"1 large orange juice," Hinata memesan jusnya.
Sepertinya Hinata benar-benar haus sehingga dia memesan jus dengan cangkir paling besar. Setelah membayar jusnya, Hinata tidak langsung meminumnya. Dia memperhatikan jus yang ada di tangannya. Tidak terlalu lama sampai sebuah ide melintas di otaknya dan sebuah senyuman terlukis di wajahnya.
Hinata melangkah menjauhi juice bar. Namun dia tidak menuju pintu keluar kantin. Dia justru menuju arah meja tempat Karin dan teman-temannya, atau lebih tepatnya pengikut-pengikutnya duduk. Mereka sedang asyik bergosip ria. Sepertinya membahas tentang Uchiha Brothers. Mereka sama sekali tidak menyadari akan kehadiran Hinata di dekat meja mereka.
Hinata mempergunakan kesempatan ini dengan baik. Dia mengarahkan cangkir jusnya di atas kepala Karin. Tanpa ragu, Hinata membalikkan cangkir di tangannya dan mengguyur Karin dengan jusnya.
Karin sempat sedikit memekik yang menyebabkan perhatian di seluruh kantin tertuju padanya. Mata mereka membelalak. Tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Hinata si siswi baru sedang mengguyur Karin si siswi populer dengan cairan yang keluar dari cangkir yang digenggamnya.
Setelah merasa guyuran air telah berhenti, Karin memutar kepalanya untuk melihat Hinata yang berdiri tepat di belakangnya dengan tampang makhluk tak berdosa. Tapi dari cangkir yang masih dipegangnya, Hinata menjadi satu-satunya tersangka yang sudah membuat rambut Karin basah kuyup.
Hinata mengakhiri balas dendamnya dengan menjatuhkan cangkir jus yang sudah kosong dan mengenai kepala Karin.
"Ouch!" rintih Karin.
Sebenarnya cangkir jus itu hanya terbuat dari bahan plastik. Sangat ringan sehingga tidak akan menimbulkan rasa sakit jika benda itu jatuh ke kepalamu. Namun tindakan Karin tidaklah berlebihan. Bagaimanapun juga jika seseorang sedang dipermalukan, cangkir yang jatuh ke kepala bisa sama rasanya dengan bom yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki.
"Uups. Tanganku terpeleset," ucap Hinata santai dengan puppy eyes-nya.
Karin hanya bisa menggeram. Hinata menahan tawanya. Hinata kemudian berbalik dan melangkah ala model catwalk menuju pintu keluar kantin.
Kali ini Hinata tidak canggung dengan perhatian dari siswa siswi lain di dalam kantin. Dia justru merasa luar biasa. Kantin yang tadinya sempat sepi sekarang ramai dengan bisik-bisik di antara para siswa.
"Itu siswi baru kan?"
"Dia punya nyali ya melawan Karin."
"Sepertinya kita punya idola baru nih."
"Gadis yang menarik."
Dan masih banyak lagi desas-desus yang lain. Kejadian barusan akan menjadi hot gossip di sekolah hari ini. Dan jelas saja nama Hyuuga Hinata akan menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru sekolah.
Tapi apa pedulinya buat Hinata. Yang sekarang dia pikirkan adalah bagaimana menyelesaikan tugasnya. Tanpa ia sadari, nama itu selalu terngiang-ngiang di pikirannya.
Uchiha Sasuke.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Ruang guru sedang sepi. Sepertinya banyak guru yang sedang menikmati makan siangnya di tempat lain. Hanya ada satu orang yang tetap bertahan di kursinya sambil membaca novel favoritnya. Tepat sekali. Karena memang dialah yang dicari.
"Ada apa Sasuke?" tanya Kakashi tanpa berpaling dari novelnya.
"Aku tidak mau mengerjakan tugas darimu Sensei. Itu konyol," Sasuke menyampaikan alasan kedatangannya sambil duduk di depan Kakashi.
"Terserah padamu kau mau mengerjakannya atau tidak. Lagipula bukan tugas tertulis yang aku harapkan darimu," jelas Kakashi yang belum mau memandang Sasuke.
"Lalu?" tanya Sasuke heran.
"Kau tidak merasa kalau gadis itu menarik? Caranya melawan pernyataanmu benar-benar menarik. Tidak pernah ada gadis yang berani mematahkan perkataanmu, kecuali 'dia'," lanjut Kakashi.
"Tapi ini berbeda. Aku rasa dia hanya mencoba mencari perhatian dariku. Terlebih lagi gadis itu tidak mirip dengan 'dia'," sela Sasuke.
"Apa rambutnya juga tidak mirip?" tanya Kakashi yang kali ini menutup novelnya dan bertatapan dengan Sasuke.
"Sedikit. Tapi gadis Hyuuga itu memiliki bentuk poni yang berbeda. Poni yang membingkai wajahnya sehingga mereka terlihat berbeda," jawab Sasuke sambil membayangkan wajah sang gadis Hyuuga.
"Dugaanku benar. Kau juga memperhatikan gadis itu kan?" goda Kakashi.
"Tentu saja tidak," Sasuke menyela.
"Buktinya kau ingat dengan nama gadis itu. Biasanya kau kan tidak pernah peduli dengan nama gadis-gadis yang mendekatimu. Kau juga hafal betul perbedaan 'dia' dengan gadis itu," ejek Kakashi.
Sasuke hanya mendesah. Sepertinya betul yang dikatakan Kakashi. Dia sudah mulai memperhatikan gadis Hyuuga itu sejak pertama kali masuk ke kelas mereka. Begitu juga saat insiden di kantin. Lalu saat pelajaran Bahasa Inggris yang berakhir mereka berdua mendapatkan tugas untuk saling mengenal lebih jauh tentang . . .
Tunggu dulu!
"Sensei. Kau tidak bermaksud untuk membuat kami menjadi lebih akrab dengan tugas ini kan?" tanya Sasuke sedikit khawatir.
Kakashi tersenyum. "Menurutmu? Aku rasa kau cukup jenius untuk mengambil sebuah kesimpulan."
"Tch!"
"Ayolah Sasuke. Setidaknya bertemanlah dengan gadis itu. Kelihatannya dia itu gadis yang menyenangkan," saran Kakashi.
"Tidak janji," ucap Sasuke seraya bangkit dari kursinya meninggalkan ruang guru.
"Sudah saatnya melupakan masa lalu Sasuke," bisik Kakashi di balik maskernya.
Sasuke semakin tidak habis pikir dengan guru yang sudah seperti keluarganya sendiri itu. Semakin dia acuh tak acuh, semakin dia mengingat-ingat nama gadis itu.
Hyuuga Hinata.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Gawat!
Benar-benar gawat. Hinata sungguh lapar saat ini. Kenapa semua makanan yang harusnya dia makan justru lantai kantin yang menikmati. Langkah menuju kelas semakin terasa jauh. Hinata hanya berharap jangan sampai hari ini dirinya berakhir di UKS saat pulang sekolah nanti.
"Hey, Hinata. Sini!" panggil Tenten saat Hinata tiba di kelasnya dengan penuh perjuangan.
Hinata menghampiri Tenten dengan tampang predator yang hendak menerkam mangsanya. Di atas meja Tenten, Hinata bisa melihat bento empat susun yang kelihatannya sangat menggoda.
"Lihat ini, aku punya makanan. Aku menunggumu kembali supaya kita bisa makan sama-sama," jelas Tenten.
Tanpa buang waktu lagi Tenten membuka bentonya dan memberikan sumpit kepada Hinata.
"Darimana bento ini?" tanya Hinata saat memasukkan bola nasi ke mulutnya.
"Tadi aku menelepon ibuku. Aku bilang aku belum makan siang. Terus ibuku datang mengantar bento ini," jawab Tenten sambil mengunyah.
Dalam hati Hinata bergumam 'Ku kira aku adalah anak yang paling manja. Ternyata masih ada yang lebih manja.' Hinata menyantap makanannya sambil tersenyum.
"Oh ya! Bagaimana tugasmu?" tanya Tenten.
"Hah, payah. Aku cuma mendapatkan 2 dari 20 nomor yang disuruh oleh Kakashi-sensei," jawab Hinata lemas.
"Habisnya kau hanya bertanya kepada siswi-siswi. Apa kau sudah mencoba bertanya kepada para siswa?" tanya Tenten lagi.
Hinata hanya menggeleng pelan. Dia memang merasa lapar. Tapi jika tugasnya sedang dibahas, Hinata merasa kehilangan nafsu makannya.
"Ada satu orang yang bisa kau tanya. Tapi aku tidak begitu yakin dia mau bicara padamu. Biasanya dia hanya mau berbicara dengan siswi berpakaian minim dan hobi berdandan. Dan aku rasa kau tidak masuk kategori Hinata," jelas Tenten.
"Kenapa begitu?" tanya Hinata ingin tahu.
"Dia itu playboy. Hampir 50 persen siswi di sekolah ini pernah pacaran dengannya," jawab Tenten.
Hinata menelan bola nasinya. Otaknya berpikir dengan keras. Makanan yang masuk ke perutnya belum mampu menggantikan energi yang dia habiskan untuk berpikir satu hari ini.
"Ada di mana dia?" tanya Hinata sedikit ragu.
Tenten tidak menjawab. Dia meletakkan sumpitnya di dalam bento lalu menarik tangan Hinata. Hinata pun meletakkan sumpitnya. Mereka berjalan keluar kelas menuju lapangan basket.
"Itu orangnya. Cowok berambut merah," Tenten menunjuk seorang siswa yang sedang bermain di lapangan basket.
"Namanya Gaara. Semoga berhasil!" lanjut Tenten.
Oh tidak. Itu adalah siswa yang diperhatikan oleh Hinata sebelumnya. Siswa dengan permainan basket yang sangat bagus. Sekarang atau tidak sama sekali. Hinata memulai langkahnya dan berdiri di pinggir lapangan.
"Gaara-san," panggilnya.
Para siswa di atas lapangan menghentikan permainan mereka saat mereka mendengar ketua klub basket mereka dipanggil oleh seorang siswi. Gaara tidak menyahut. Dia hanya menatap Hinata.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Hinata ragu-ragu saat melihat wajah Gaara yang tanpa ekspresi.
Gaara memandang Hinata dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Aku tidak tertarik dengan gadis sepertimu," jawab Gaara datar.
"M-Maaf?" tanya Hinata heran yang merasa jawaban Gaara sama sekali tidak nyambung.
"Jika kau ingin mengajakku berkencan, aku tidak akan melayaninya saat sedang bermain basket," jawab Gaara sambil mengambil bola dan mulai mendribble-nya.
"Memangnya siapa yang mau mengajakmu kencan? Aku hanya ingin bicara," ucap Hinata yang mulai jengkel.
Gaara berhenti mendribble bolanya. Bola itu pun menggelinding ke arah Hinata. Hinata kemudian memungut bola di dekat kakinya.
"Kembalikan saja bolanya. Aku tidak punya keharusan untuk bicara denganmu," ucap Gaara masih datar.
"Begini saja. Aku akan melawanmu bertanding 1 lawan 1. Jika aku menang, kau harus bicara denganku . . ."
"Jika aku menang?" tanya Gaara memotong.
"Aku . . . Aku akan mencuci baju latihanmu selama seminggu," jawab Hinata setelah berpikir singkat.
Gaara menyeringai. Tawaran yang menarik. Malah dia merasa Hinata yang akan rugi.
"Baiklah."
Gaara menyetujui tawaran Hinata dan menyuruh siswa yang masih berada di lapangan untuk memberi tempat kepada mereka berdua untuk bertanding. Dia lalu menunjuk salah satu siswa untuk menjadi wasit pertandingan mereka.
"Aku akan membawa bola duluan. Setelah mencetak angka, kau yang akan membawa bola. Yang menjadi pemenang adalah orang yang berhasil merebut bola dari tangan lawan dan berhasil memasukkannya. Setuju?" tanya Gaara setelah menjelaskan sistem pertandingan mereka.
Hinata mengangguk mantap. Dia tidak boleh kalah. Namun dia juga harus mencari ide untuk bisa menang.
Pluit berbunyi menandakan pertandingan di mulai. Beberapa siswa yang sedari tadi menonton di dekat lapangan, kini ingin melihat dalam jarak yang lebih dekat. Siswa siswi yang berada di gedung sekolah juga tak ingin ketinggalan pertandingan ini. Mereka melihat melalui jendela dan sebagian keluar dari kelas mereka. Mereka heran siapa siswi yang berani menantang Gaara sang ketua klub basket.
Gaara membawa bola. Hinata berdiri di depannya untuk bersiap membuat pertahanan. Gaara berhasil melewati Hinata dan berhasil mencetak angka.
"Apa kau yakin bisa menang?" ejek Gaara.
Hinata tidak menanggapinya. Kini gilirannya membawa bola. Hinata mendribble pelan bolanya, kemudian semakin cepat. Menggunakan gerakan berputar, Gaara salah memprediksi arah gerak Hinata. Hinata melewati Gaara dengan mulus dan berhasil melempar bola masuk ke keranjang. Skor 1-1. Cukup sengit ternyata.
"Setidaknya aku masih punya kesempatan," ucap Hinata.
Gaara menyeringai. Gilirannya lagi membawa bola. Melihat seringai Gaara, Hinata ingat akan sesuatu. Seperti yang dia rencanakan sebelumnya, dia harus punya ide untuk menang. Dia sudah menemukan idenya, dan dia yakin ini akan berjalan lancar.
Gaara memfokuskan perhatian kepada lawannya. Kemudian dia melihat sesuatu yang membuatnya menjadi tidak fokus. Rok Hinata tersingkap, menunjukkan kulit pahanya yang putih nan mulus. Sepertinya Gaara tidak sadar kalau itu adalah tingkah Hinata. Gaara lengah. Hinata merebut bola dan melakukan Lay Up.
PRIIIIIIIIIIT
"1-2," ucap siswa yang menjadi wasit pertandingan mereka.
Hinata menang. Gaara tersenyum. Hinata tahu kelemahan Gaara. Dan Gaara mengakui kekalahannya. Seluruh sekolah masih diam melihat hasil pertandingan yang tidak terduga. Karena awal prediksi mereka adalah Gaara akan menang dengan mudah. Namun pada akhirnya mereka tetap memberikan tepuk tangan atas pertandingan yang sengit antar keduanya. Hinata mengacuhkan suara riuh tepuk tangan yang bergema di penjuru sekolah. Dia hanya ingin mendengarkan pengakuan dari Gaara.
"Kau menang. Temui aku saat pulang sekolah. Di sini," ucap Gaara.
Hinata hanya tersenyum, kemudian mengangguk.
"Oh ya! Siapa namamu?" tanya Gaara.
"Hyuuga Hinata," jawabnya seraya beranjak dari lapangan basket.
Bel masuk sudah berbunyi. Mereka harus segera kembali ke kelas. Gaara memperhatikan Hinata yang semakin menjauh. Dia tersenyum.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata tidak melihat langkahnya saat masuk ke dalam kelas. Dia hampir bertabrakan dengan seseorang, yang sudah membuat dirinya menguras banyak energi hari ini. Mereka hanya bertatapan. Tidak ada satupun yang mengeluarkan suara.
"Apa?" tanya Sasuke yang akhirnya memulai pembicaraan.
"Aku ingin masuk," jawab Hinata.
Sasuke masih belum bergerak. Hinata sudah cukup lelah. Kenapa orang ini harus membuatnya semakin jengkel.
"You really troublesome," kata Hinata.
"And you really annoying," balas Sasuke datar.
"Hah. Kau ini benar-benar menyebalkan!" Hinata tidak mau kalah.
"Kalau begitu apa bahasa inggrisnya?" tantang Sasuke.
Percaya atau tidak, Sasuke baru saja memberi ide kepada Hinata. Hinata meraih note book dan pena dari dalam saku blazernya, kemudian menuliskan sesuatu di sana. Sasuke mengangkat sebelah alisnya.
"Aku akan menuliskan bahasa inggrisnya di sini. Sebagai jawaban tugas dari Kakashi-sensei," jawab Hinata. Hinata terlihat sedang berpikir.
'Kenapa? Kau tidak tahu bahasa inggrinya kan?" ejek Sasuke.
"Bukan itu yang sedang aku pikirkan," balas Hinata.
"Lalu?" Sasuke penasaran.
Tiba-tiba saja Sai muncul dan berdiri di belakang Hinata. Terlalu sibuk berpikir membuat Hinata tidak tahu kalau Sai sedang membaca isi note booknya. Sai melihat sebuah tulisan dan sedikit goresan bentuk wajah di sana. Tapi wajah itu belum meiliki mata, hidung, dan bibir.
3. Uchiha Sasuke is sucks
Sai tersenyum. Sasuke makin heran melihatnya.
"Mungkin aku bisa membantumu," ucap Sai yang membuat Hinata sedikit terlonjak karena kaget.
Sai mengambil note book Hinata dan menggambarkan tampang orang menyebalkan di sana.
"Cocok tidak?" tanya Sai sambil memperlihatkan gambarnya kepada Hinata.
Hinata tertawa kecil sambil mengangguk. Sai ikut tersenyum melihatnya.
"Hey. Apa yang kalian tulis di situ?" tanya Sasuke ingin tahu.
"Ehemm," seseorang berdehem di dekat mereka.
Sepertinya rasa ingin tahu Sasuke harus dibendung karena Kurenai-sensei sudah berdiri di dekat kelas mereka dan ingin masuk untuk mengajar. Mereka pun menghambur masuk ke kelas. Kurenai-sensei masuk dan memulai pelajarannya.
'Ini benar-benar hari yang panjang,' gumam Hinata dalam hati.

Jumat, 17 Desember 2010

Hinata's Upside Down Life (chapter 5)

"Hinata, kau mau kemana? Kau sedang tidak enak badan dan ingin cepat pulang ya? Kalau begitu biar aku mengantarmu pulang", Naruto menyapa Hinata saat dia melihat Hinata membawa tas di jam pelajaran dan tidak berada di kelas.
"Bukan urusanmu", Hinata menjawab pelan.
"Hinata. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan . . .", Naruto mencoba memberi penjelasan yang langsung dipotong oleh Hinata.
"Semua sudah berakhir Naruto".
Dengan itu, Hinata melangkah ke arah kantor kepala sekolah dan meninggalkan Naruto yang hanya berdiam terpaku di tempat Hinata mengucapkan kata berakhir untuknya.
Temari yang tak sengaja menangkap sosok sahabatnya yang sepertinya sedang bertengkar dengan Naruto, merasa tidak sabar agar bel pulang cepat berbunyi dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Temari", Guren berbisik memanggil Temari yang masih memusatkan pandangannya ke luar jendela.
Temari kemudian mengalihkan pandangannya kepada Guren dan memberi isyarat seakan bertanya 'Ada apa?'.
"Kenapa Hinata tidak masuk ya hari ini?", tanya Guren dengan suara yang masih sangat pelan.
"Barusan aku melihatnya ada di dekat kantor kepala sekolah. Aku sendiri juga heran kenapa dia tidak masuk kelas. Dan sepertinya dia sedang bertengkar dengan Naruto", jawab Temari dengan suara yang sama pelannya.
Apapun yang terjadi, tak ada satu pun dari mereka yang berkonsentrasi terhadap pelajaran hari ini.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kenapa kau ingin bertemu dengan kami di sini? Dan kenapa tadi kau tidak masuk kelas?", tanya Temari tak sabaran begitu bertemu Hinata di dekat taman sekolah setelah bel pulang berbunyi.
Hinata mulai membuka mulut untuk bicara saat Naruto menghampiri Temari dan yang lain. Sepertinya dia tidak ingin ketinggalan apa yang akan disampaikan Hinata kepada sahabat-sahabatnya. Awalnya Hinata ingin mengurungkan niatnya untuk berbicara, namun dia tidak ingin pergi tanpa memberitahukan teman-temannya terlebih dahulu.
"Mulai besok, aku akan pindah sekolah dan pindah tempat tinggal", Hinata akhirnya memulai salam perpisahannya.
Kata-kata Hinata kontan membuat semua lawan bicaranya kaget. Kenapa tiba-tiba saja Hinata memilih untuk pindah sekolah. Pindah tempat tinggal pula.
"Memangnya ada masalah apa Hinata?", tanya Guren.
"Tidak ada masalah apa-apa", Hinata menjawab datar.
"Kalau tidak ada masalah kenapa harus pindah?", tanya Tayuya yang semakin bingung.
Belum sempat Hinata menjawab, muncul pertanyaan lain yang membuatnya terhenyak.
"Lalu bagaimana hubunganmu dengan Naruto?", tanya Temari yang sedari tadi sudah merasa ada yang tidak beres dengan mereka berdua.
"Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya", jawab Hinata dengan mantap.
Mereka bertiga semakin terkejut dengan pernyataan Hinata, kecuali Naruto.
"Sebenarnya ada masalah apa antara kau dan Naruto? Kenapa harus putus?", tanya Guren.
"Huff. Sudah ku bilang tidak ada masalah apa-apa". Hinata tidak kuat lagi. Jika dia terus berada di situ, dia pasti akan menangis.
Hinata membalikkan badannya dan mulai melangkah meninggalkan teman-teman dan mantan pacarnya. Naruto sama sekali tak sanggup berkata-kata. Dia hanya diam.
"Kau tidak punya perasaan Hinata! Kenapa kau minta putus jika tidak ada masalah. Apa kau tidak sadar bahwa tindakanmu bisa membuat Naruto sedih?", Temari membentak Hinata.
Hinata menghentikan langkahnya namun tidak membalikkan badannya. "Itu bukan urusan kalian". Hinata pun melanjutkan langkahnya.
Setelah Hinata pergi, mereka berempat hanya tenggelam dalam diam. Bagaimana mungkin seorang gadis manis yang ramah seperti Hinata, bisa bertindak sedingin itu. Dan satu hal lagi, Hinata bahkan tidak memberitahu mereka kemana dia akan pindah.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kau terlambat", ucap Naruto.
"Maaf. Aku harus menyiapkan dulu segala kebutuhan Hiashi, baru aku bisa menemuimu", jelas Sakura santai.
"Aku mohon hentikan ini semua Sakura", pinta Naruto yang sedikit kesal saat Sakura menyebut nama suaminya.
"Apa katamu? Aku tidak akan berhenti di tengah jalan", tegas Sakura.
"Kenapa kau harus melakukan semua ini?", tanya Naruto.
"Aku rasa semuanya sudah pernah ku jelaskan padamu. Aku akan membahagiakan ibuku yang telah menjadi single parent selama 7 tahun dengan cara apapun", jawab Sakura.
"Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini? Kau bahkan tidak mencintai laki-laki itu Sakura. Kenapa kau tidak pernah memandangku? Aku . . . aku yang selalu mencintaimu", nada bicara Naruto meninggi.
"Memangnya apa yang bisa kau berikan untukku selain hatimu?", tanya Sakura sedikit menantang.
Naruto terdiam. Sakura benar. Apa yang bisa dia berikan untuk Sakura selain hatinya. Dia bahkan masih seorang pelajar yang belum mampu mencari uang sendiri.
"Bagaimanapun, aku melakukan ini dengan mengorbankan kebahagiaanku", lanjut Sakura.
"Mengorbankan kebahagiaanmu? Aku rasa kebahagiaan Hinata yang lebih tepat", Naruto menyela ucapan Sakura.
"Haha! Sejak kapan kau peduli dengan Nona Hyuuga yang manja itu?", giliran Sakura bertanya.
"Hinata itu gadis yang baik. Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini, aku pasti sudah mengurungkan niat untuk membantumu", jawab Naruto.
"Jadi kau menyesal telah membantuku? Percuma saja Naruto. Semuanya sudah terlambat. Dan kutegaskan sekali lagi, aku tidak akan menyerah", kali ini suara Sakura juga ikut meninggi.
Naruto kemudian teringat kejadian saat Hinata memergoki dirinya dengan Sakura malam itu.
"Apa Hiashi-san tidak tahu tentang kejadian malam itu?", tanya Naruto cemas.
"Kau harus berterima kasih kepada pacarmu Naruto. Dia sama sekali tidak mengadukan kita. Aku benar-benar terkejut ketika tahu tentang hal itu", jawab Sakura yang sudah kembali tenang.
"Lalu kenapa dia pindah?", Naruto kembali bertanya.
"Tradisi Hyuuga. Para calon pewaris akan hidup jauh dari keluarganya sebelum mereka menjadi pewaris yang sah. Aku saja baru tahu tentang hal itu saat Hiashi membicarakan tentang rencana Hinata padaku", jawab Sakura santai.
"Pantas saja kau begitu santai. Kau benar-benar memanfaatkan kepolosan Hinata", ucap Naruto.
"Aku tidak memanfaatkannya. Dia sendiri yang mengambil keputusan. Dan percayalah Naruto. Ini adalah keputusan yang menguntungkan bagi kita berdua", jelas Sakura.
"Terserah padamu!". Naruto beranjak dari tempatnya.
Sakura juga tidak membuang-buang waktu untuk segera kembali ke kediaman Hyuuga. Dia sama sekali tidak merekap ulang pembicaraannya dengan Naruto.
Dia tidak peduli.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata sampai di tempat tinggal barunya. Sebuah flat sederhana yang sangat jauh berbeda dari kediaman Hyuuga. Tapi baginya ini sudah lebih dari cukup. Sebab dia hanya tinggal sendiri. Dia tidak membutuhkan tempat tinggal yang luas. Flat ini juga dekat dengan sekolah barunya. Paling dia hanya menghabiskan waktu 15 menit berjalan kaki ke sekolahnya.
Setelah beberapa pelayan yang ikut mengantarnya membantu merapikan tempat tinggal barunya, mereka langsung pulang atas perintah Hinata. Dia sangat lelah, dan dia ingin istirahat. Karena besok, adalah hari pertama di sekolah barunya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Ini adalah awal yang baru. Dia tidak boleh terperangkap dalam masalah itu terus-terusan. Dia harus bangkit. Dan menurutnya, keputusannya untuk menjauh dari kediaman Hyuuga dan sekolah lamanya adalah yang paling tepat untuk saat ini. Dia harus mencari teman baru, suasana baru, dan mungkin kisah asmara baru.
Scratch it!
Hinata mencoret kata-kata terakhir di pikirannya. Sepertinya dia belum siap untuk memulai hubungan baru dengan seorang cowok. Bisa dibilang masih trauma dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi ya sudahlah. Sekarang saatnya berangkat ke sekolah.
Seragam sekolah barunya tidak jauh beda dengan seragamnya yang dulu. Warna yang dulu biru tua sekarang berwarna hitam pekat untuk blazernya. Kemeja masih putih seperti biasa dengan dasi berbentuk pita. Roknya juga hitam dengan garis-garis berwarna hijau tua. Rambut? Masih dengan style seperti biasa walau dia sudah jauh dengan ayahnya. Sepertinya Hinata enggan menggerai rambutnya.
Sepi sekali sarapan sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Jika sarapan semeja dengan orang-orang di kediaman Hyuuga, yang ada makanan dalam perutnya tidak tercerna dengan baik karena pasti akan keluar lagi.
"Yosh. Gambatte!", ucap Hinata sebelum melangkah keluar meninggalkan flatnya. Ini adalah hari yang cerah untuk berjalan kaki menuju ke sekolah.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Seorang pemuda berlari-lari di sekitar koridor sekolah. Nafasnya yang ngos-ngosan tak membuatnya berhenti berlari. Seperti orang yang sedang dikejar setan atau mungkin segerombolan orang. Dia kemudian bersandar di salah satu dinding di ujung koridor. Dia merasa lega karena sudah terbebas dari siswi-siswi yang sedari tadi mengejar-ngejarnya. Sampai seorang siswi menyapanya dengan ramah.
"A-Ano . . .", kata gadis itu.
'Sial! Kenapa mereka banyak sekali?', pikir pemuda itu.
"Apa aku boleh bertanya di mana ruangan kepala sekolah?", tanya gadis itu lembut.
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya. 'Siswi baru ya', pikirnya.
Pemuda itu kemudian berdiri tegak dan memberitahukan arah yang ingin dituju siswi baru itu.
"Arigatou", ucap siswi baru itu sambil membungkuk dan kemudian berlalu.
Pemuda itu hanya tersenyum melihat gadis yang baru saja ditemuinya. Setidaknya gadis itu tidak menguber-ubernya seperti gadis-gadis yang lain. Dan tiba-tiba . . .
"Kyaaaaaaaa, Uchiha-kuuuuuuuun!".
Sepertinya perjuangan pemuda itu untuk menghindari gadis-gadis ini belumlah berakhir.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Nama saya Hyuuga Hinata. Senang berkenalan dengan Anda", Hinata memperkenalkan dirinya dengan sedikit membungkuk di kelas barunya. Salah satu tata krama yang dia pelajari di keluarga Hyuuga.
"Ini adalah teman baru kalian. Dia siswi baru di sekolah ini. Aku harap kalian bisa membantunya di kelas ini. Silakan duduk di sebelah gadis bercepol dua di dekat jendela sana", Orochimaru menunjukkan tempat duduk Hinata.
"Arigatou Sensei", ucap Hinata sebelum melangkah ke tempat duduknya.
Gadis bercepol dua yang menjadi teman sebangkunya langsung memberikan senyuman hangat begitu Hinata duduk di bangkunya.
"Hai! Perkenalkan, namaku Tenten", ucapnya seraya melambaikan tangannya pelan.
"Hinata", balas Hinata ramah.
Sekolah baru ternyata tidak terlalu buruk. Ini benar-benar awal yang bagus. Dia sudah mendapatkan teman di hari pertamanya. Namun Hinata tidak memperhatikan ke seisi kelas untuk melihat siapa-siapa saja yang menjadi teman sekelasnya. Dia sedang fokus memperhatikan pelajaran kimia yang dijelaskan oleh Orochimaru-sensei.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Pada saat istirahat pertama.
Dua orang pemuda sedang jalan berdua menuju ke arah kantin. Setiap mereka melangkahkan kakinya, siswi-siswi di sekitar mereka pada teriak-teriak tidak jelas. Seperti melihat super model atau super star yang sedang manggung.
"Uchiha-kuuuuuuuuuuuuuuuuuuun!".
Rasanya ingin saja ngebekep mulut mereka dengan karet ban supaya tidak berisik. Tapi kedua pemuda itu hanya melanjutkan langkah mereka tanpa menghiraukan gadis-gadis yang berteriak memanggil-manggil nama klan mereka. Dengan embel-embel 'kun' pula. Sok akrab.
Suasana di kantin selalu ramai pada saat seperti ini. Tentu saja. Memangnya mau di mana lagi mencari makanan kalau bukan di sini.
"Hey, Hinata. Kau suka tiramisu tidak?", tanya Tenten saat sedang memilih-milih makanan yang akan dibelinya.
"Mm. Lumayan", jawab Hinata.
Mereka tidak sadar dengan kehadiran dua pemuda di belakang mereka yang sedari tadi mencoba menghindari kerumunan gadis-gadis yang berkumpul untuk memberikan makanan kepada mereka dan . . .
BAAAAMMMM
"Kyaaaaaaaaa. Apa yang kau lakukan?", teriak seorang gadis berambut merah berkacamata kepada dua siswi yang masih melongo dan belum mampu mencerna apa yang sedang terjadi.
"Tidak perlu histeris seperti itu", ucap seorang pemuda yang menjadi korban dari keributan yang baru saja terjadi.
Sontak seluruh kantin menjadi hening saat mendengar ucapan pemuda itu. Hinata dan Tenten akhirnya menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka tidak sengaja menabrak salah satu dari dua pemuda Uchiha di hadapan mereka. Yang menjadi kasus di sini bukanlah itu. Tapi tiramisu milik Tenten yang mendarat dengan mulus di kemeja pemuda Uchiha itu.
"Dasar kau ini! Lihat apa yang kau lakukan! Kau membuat kemeja Sai-kun menjadi kotor!", lagi-lagi gadis berambut merah itu teriak sambil mendorong Tenten hingga dia terjatuh.
Hinata yang melihat temannya diperlakukan seperti itu tidak bisa tinggal diam. Kenapa dia yang harus sewot? Padahal bukan kemejanya yang kotor akibat tiramisunya Tenten.
"Kau ini yang apa-apaan!", ucap Hinata sambil mendorong gadis berambut merah itu.
Giliran gadis berambut merah itu yang melongo setelah mundur beberapa langkah akibat dorongan dari Hinata. Suasana di dalam kantin semakin hening. Tidak ada satu orang pun yang bersuara kecuali Hinata yang membantu Tenten untuk berdiri. Dan sebelum melangkah keluar dari kantin, dia ingat satu hal.
"Oh ya! Kau orang yang di koridor tadi pagi kan? Ini. Bersihkan kemejamu dengan ini", kata Hinata sambil menyodorkan selembar sapu tangan kepada pemuda yang bernama Sai itu.
Sai mengambil sapu tangan milik Hinata dan langsung membersihkan kemejanya seperti yang dikatakan oleh Hinata. Belum sempat Sai mengucapkan sesuatu, Hinata dan Tenten sudah berjalan keluar kantin dan meninggalkan suasana yang jarang terjadi di dalam kantin. Kegiatan di kantin kembali normal setelah dua pemuda Uchiha itu juga meninggalkan kantin. Entah kemana tujuan mereka selanjutnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kau seharusnya tidak perlu melakukan itu Hinata", kata Tenten saat mereka keluar dari kantin dan menuju ke kelas.
Hinata hanya mengernyitkan dahi. Dan Tenten tahu bahwa Hinata sedang bingung dengan ucapannya. Dia pun mulai menjelaskan apa yang ingin diketahui Hinata.
"Gadis berambut merah dan memakai kacamata tadi bernama Karin. Dia adalah siswi yang paling berpengaruh di sekolah ini. Tidak ada yang berani cari masalah dengan dia. Dan kau, baru saja mencari masalah dengannya Hinata", jelas Tenten yang membuat Hinata malah semakin bingung.
"Bukannya dia duluan yang mencari masalah denganmu? Lagipula mengapa dia melakukan hal itu kepadamu? Padahal kau kan tidak salah apa-apa padanya", tanya Hinata yang membutuhkan penjelasan lebih rinci dari Tenten.
"Memang seperti itu. Dia dan teman-temannya adalah 'Uchiha Safer'. Mencari masalah dengan Uchiha, berarti mencari masalah dengannya. Kau sudah tahu belum kalau pemilik sekolah ini adalah Uchiha?", Tenten bertanya balik.
"Uchiha? Sepertinya aku pernah dengar nama itu sebelumnya", kata Hinata.
"Mereka itu sangat terkenal di sekolah ini. Bukan hanya karena mereka adalah cucu dari pemilik sekolah, tapi juga karena ketampanan mereka. Yang kita tabrak tadi bernama Sai. Dan yang satu lagi bernama Sasuke. Setiap mereka muncul, pasti gadis-gadis langsung berteriak-teriak memanggil nama mereka", Tenten menjelaskan dengan panjang lebar.
Dari semua penjelasan Tenten barusan, hanya satu petunjuk yang mengingatkan Hinata dengan nama Uchiha. Jeritan gadis-gadis.
"Aku ingat! Uchiha adalah salah satu relasi Hyuuga", Hinata ingat dengan pesta di mana dia bertemu Sakura pertama kali. Wajahnya langsung berubah begitu mengingat kejadian itu.
"Apa kau juga tidak tahu kalau mereka itu sekelas dengan kita?", tanya Tenten lagi.
"Haa?", Hinata terkejut mendengar pertanyaan Tenten yang terakhir.
Sungguh suatu kebetulan.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Ok class. Saatnya maju satu persatu ke depan untuk mempresentasikan tentang tugas kalian minggu lalu. Mendeskripsikan 'What is Boy?' bagi siswi dan 'What is Girl?' bagi siswa", jelas Kakashi saat memulai pelajaran Bahasa Inggrisnya.
"Ms. Hyuuga", panggilnya.
Hinata langsung sadar dari lamunannya yang sedari tadi terkagum-kagum melihat Kakashi-sensei. Tidak pernah ada guru setampan ini di sekolahnya yang dulu.
"Ya Sensei", sahut Hinata.
"Mengingat kamu adalah siswi baru, kamu mendapat dispensasi tidak ikut presentasi. Karena kamu belum memiliki persiapan", jelas Kakashi.
"Tidak apa-apa Sensei. Saya akan maju seperti yang lain", sela Hinata dengan percaya diri. Bagaimanapun kemampuan Bahasa Inggris Hinata tidak bisa disepelekan.
"Baiklah kalau begitu. Saya akan memanggil namamu di urutan terakhir. Supaya kamu bisa memiliki persiapan", Kakashi memberi solusi.
"Baik Sensei", balas Hinata semangat. Dia membuka buku catatannya untuk menuliskan sesuatu di sana. Deskripsi 'What is Boy?' tentunya.
Kakashi mulai memanggil nama siswa siswinya satu persatu. Baginya, meskipun Bahasa Inggris siswa siswinya sudah bagus, namun tidak ada deskripsi yang menarik dari apa yang mereka katakan.
"Uchiha Sai", panggilnya.
Hinata mengangkat kepalanya untuk melihat Sai maju ke depan dan memberikan deskripsinya. Entah kenapa Hinata berpikir bahwa dia bisa berteman baik dengan pemuda ini.
"Uchiha Sasuke".
Hinata memperhatikan dengan jelas orang yang sedang berjalan ke depan kelas ini. Meskipun dia dan Sai memiliki nama klan yang sama, namun mereka terlihat sangat berbeda. Aura Sasuke terlihat lebih mempesona dibandingkan dengan Sai. Jujur. Hinata belum pernah bertemu dengan pemuda setampan ini sebelumnya. Namun kekagumannya terhadap Sasuke luntur saat mendengar deskripsi yang diberikan oleh Sasuke.
"Girls are annoying", ucap Sasuke datar.
Hinata melongo. Tapi tidak dengan siswi yang lain. Mereka malah merasa bahwa Sasuke benar-benar 'Cool'. Hinata merasa kesal. Berani sekali dia mengatakan hal seperti itu. Hinata menutup buku di depannya dan melupakan semua deskripsi yang sudah dia hafal.
"Hyuuga Hinata", Kakashi memanggil namanya.
Hinata maju ke depan kelas dengan rasa kesal di dalam dadanya. Kakashi memberi sebuah anggukan yang menandakan Hinata sudah bisa mempresentasikan deskripsinya. Hinata menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah kalimat dari mulutnya.
"Boys are . . . troublesome", ucapnya.
Satu kelas melongo mendengar deskripsi Hinata.
Kakashi mengangkat sebelah alisnya. 'Menarik', pikirnya.
Hinata kembali ke tempat duduknya dengan menuai perhatian dari teman-teman sekelasnya. Hinata sweatdrop. Dia benar-benar tidak terbiasa diperhatikan oleh orang sebanyak ini.
"Finish!", kata Kakashi yang berhasil mengembalikan fokus seluruh siswanya kepada dirinya.
"Kelas selesai di sini. Tidak ada tugas untuk minggu depan, kecuali untuk Ms. Hyuuga dan Mr. Uchiha Sasuke", ucap Kakashi.
Hinata yang sedang sweatdrop dan Sasuke yang sedang bosan mendelik saat nama mereka disebut.
"Kalian berdua saya berikan tugas untuk mencari deskripsi lagi. Ms. Hyuuga mencari tahu tentang Mr. Uchiha Sasuke, dan begitu juga sebaliknya. At least, 20 numbers in English", Kakashi menegaskan tugas yang diberikannya khusus untuk Hinata dan Sasuke.
"Understand?", tanya Kakashi saat Hinata dan Sasuke tidak memberikan komentar.
"Tch", Sasuke hanya mendecak.
Hinata yang tambah sweatdrop cuma bisa mengangguk pelan.
"Good. So, class dismissed!", Kakashi mengakhiri pelajarannya tepat saat bel istirahat kedua berbunyi.
Hinata mengeluarkan sebuah notebook dari tasnya. Ini bukanlah tugas yang gampang. Dia bahkan bingung darimana harus memulai mengerjakan tugas pertamanya. Hinata menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Sasuke. Hinata terkejut. Ternyata Sasuke sedang memandangnya dengan tatapan dingin. Sangat dingin sehingga membuat Hinata bergidik ngeri. Mata dingin yang jauh berbeda dengan milik ayahnya. Hinata memalingkan wajahnya dan hanya bisa berpikir tentang satu hal.
Ini akan menjadi tugas yang sulit untuk diselesaikan.

Selasa, 14 Desember 2010

Hinata's Upside Down Life (chapter 4)

"ooooaaahhhh", Hinata menguap sambil menepuk-nepuk mulutnya.
Sudah sejam lebih dia menunggu kedatangan calon ibu barunya di kediaman Hyuuga. Sepi, hening, tenang. Hanya detak jarum jam yang mendominasi suara di dalam ruangan yang ditempatinya sekarang ini. Ruangan ini adalah ruangan yang dipergunakan untuk acara-acara resmi, acara kelurga, ataupun rapat penting Hiashi dengan relasinya.
"Apa perlu bertemu di ruangan ini? Lagian kenapa mereka lama sekali? Kalau tahu mereka akan telat begini, lebih baik aku bangun lama-lama saja", gerutu Hinata.
Dia memang kurang tidur tadi malam. Hiashi memaksa matanya untuk tetap terbuka mengingat Hiashi membutuhkan bantuannya mengenai pernikahan yang akan digelar kurang dari waktu seminggu. Anehnya Hiashi yang tidak tidur sama sekali, justru terlihat sangat segar tanpa kantuk hari ini.
"Terlalu terburu-buru. Sepertinya ayah begitu senang dengan wanita ini. Sampai-sampai dia ingin memiliki wanita itu secepatnya. Hah, lihat saja senyum itu. Aku penasaran wanita seperti apa yang bisa membuat pria sedingin Hyuuga Hiashi tersenyum sehangat itu?", Hinata menggerutu lagi.
Untung saja tidak ada orang di dekat ruangan pada saat itu. Jika ada, pasti Hinata sudah dicap gila karena mengoceh sendiri sejak tadi.
"Haaaaahh", lagi-lagi Hinata menghembuskan nafas panjang. Setiap orang pasti setuju jika menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan.
Sebenarnya suara mesin mobil Hiashi sudah kedengaran di luar. Pelayan juga sudah membukakan pintu untuk Hiashi dan wanita yang sedang digandengnya. Tapi Hinata tidak menyadarinya sebab dia dalam keadaan setengah tidur. Saat Hinata sudah mulai terlelap, terdengar suara derapan kaki di luar ruangan yang membuat Hinata terlonjak dari kursinya.
Ya Tuhan. Pasti tampangnya terlihat berantakan saat ini. Tapi Hinata harus tetap terlihat elegan seperti Hyuuga kebanyakan.
'Huff. Hampir saja aku ketiduran', gumamnya dalam hati.
Hinata mengambil posisi tidak jauh dari pintu ruangan. Melalui pintu ini, akan masuk seseorang yang akan berpengaruh besar dalam kehidupan Hinata dan ayahnya. Pintu ruangan dibukakan oleh dua orang pelayan Hyuuga yang berpakaian rapi. Seperti mempersilakan Raja dan Ratu untuk duduk di singgasana mereka, Hiashi dan calon istrinya memasuki ruangan yang sedari tadi menjadi saksi gerutuan Hinata.
Hinata tersentak, matanya membelalak. 'Wanita ini . . .', dia mulai mengingat-ingat. 'Wanita yang ada di pesta kemarin. Yang memakai gaun berwarna magenta'. Hinata masih mengingat dengan jelas rupa wanita yang sekarang berdiri tepat di hadapannya.
"Hinata", Hiashi memecah keheningan yang sempat tercipta saat mereka masuk.
"Perkenalkan. Ini calon ibumu", Hiashi memperkenalkan calon istrinya kepada putrinya.
"Hai. Perkenalkan, namaku Haruno Sakura".
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Hey, Temari. Hinata tidak datang ya?", tanya Guren saat dirinya, Temari, dan Tayuya sedang berkumpul di rumahnya. Setiap hari minggu, mereka pasti berkunjung ke rumah sahabat mereka. Dan minggu ini adalah giliran rumahnya Guren yang dikunjungi.
"Sepertinya tidak. Aku rasa dia akan bertemu calon ibu tirinya hari ini", jawab Temari.
"Oh ya! Kemarin kan Hinata cerita kalau ayahnya akan menikah lagi. Kira-kira dengan siapa ya? Kita lihat ke rumahnya yuk!" ajak Tayuya.
"Jangan! Berikan waktu kepada Hinata untuk lebih mengenal ibu barunya. Setelah ayahnya menikah, kita kan tetap bisa melihat ibu barunya Hinata", Temari melarang.
"Aku kurang yakin kalau mereka bisa dekat seperti ibu dan anak pada umumnya. Kalian tahu sendiri kan bagaimana sifatnya Hinata. Dia lebih banyak diam. Bahkan dengan kita yang sahabatnya pun dia tidak begitu terbuka", Guren menimpali.
"Kau benar juga. Jika ada masalah dengan Naruto saja dia tidak pernah mau cerita. Aku tidak percaya kalau mereka sama sekali tidak pernah bertengkar", Tayuya mengiyakan.
"Yahh, semoga saja Hinata bisa dekat dengan ibu barunya. Dia pasti sudah lupa bagaimana rasanya punya ibu sejak dia berusia 5 tahun", ucap Temari.
"Semoga saja", ucap Guren dan Tayuya serentak.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata terlihat sibuk di kamarnya. Dengan pakaian seperti ini, dia harus menyesuaikan pergerakannya. Jika bergerak terlalu cepat, dia akan berkeringat. Tidak hanya itu. Dress putih yang dipakainya bisa jadi kusut atau kotor. Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Sebab dia akan menjadi pengiring pengantin wanita hari ini.
Belum lagi ide bulan madu keliling Eropa. Sebenarnya Hinata tidak ingin ikut. Tapi saat dia mencoba mengingat kapan terakhir kali dia berlibur bersama ayahnya, Hinata berubah pikiran. Itu sudah lama sekali dan dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk berlibur lagi bersama ayahnya, dan juga ibu barunya.
Sialnya, perjalanan akan dimulai setelah resepsi selesai. Itu artinya mereka akan berangkat malam ini juga. Itu sebabnya Hinata berkemas-kemas sebelum resepsi dimulai.
"Huff, selesai juga", Hinata lega.
"Hinata-sama. Resepsi akan segera dimulai. Sakura-sama telah menunggu anda di ruangannya", ucap salah seorang pelayan.
"Baik. Aku ke sana sekarang", Hinata beranjak dari kamarnya menuju ruangan Sakura.
"Aku sudah tidak sabar Hinata", kata Sakura saat dia menyadari keberadaan Hinata di ruangannya.
Hinata mengambil keranjang berisi bunga yang akan dibawanya saat mengiringi Sakura. "Sebentar lagi Sakura-san".
"Aku harap kau memanggilku ibu saat resepsi ini selesai", pinta Sakura.
"Apa anda benar-benar ingin dipanggil ibu? Menurutku anda terlalu muda untuk panggilan itu. Sepertinya lebih cocok jika aku memanggilmu Onee-chan", timpal Hinata.
Sakura tertawa. "Aku adalah istri ayahmu. Itu artinya kau memanggilku dengan sebutan ibu".
Hinata hanya diam. Dia masih belum terbiasa berada di dekat Sakura. Baginya ini masih terasa asing.
"Sudah waktunya", seorang pelayan mengisyaratkan bahwa resepsi akan segera dimulai.
Hinata membantu Sakura berjalan dengan gaun pengantinnya menuju ke luar ruangan. Saat Sakura melangkah di karpet merah dengan diikuti Hinata, semua mata tertuju kepada mereka. Tapi itu hanya sesaat. Begitu pengantin wanita semakin mendekati altar, hanya Sakura yang menjadi pusat perhatian seluruh tamu undangan.
Ini bukan karena Hinata tidak cantik. Dia sangat cantik malah. Tapi bagaimanapun di dalam sebuah resepsi pernikahan, kedua pasang pengantinlah yang mendapat perhatian paling banyak.
Minder.
Tentu itu dirasakan Hinata. Dia ingin ini semua cepat selesai. Sebelum dia merasa pusing dan berakhir dengan pingsan. Sepertinya keinginan Hinata terkabul. Karena pengantin wanita sudah tidak sabar untuk berbulan madu bersama suami barunya. Err, tak lupa pula anak tirinya tentunya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kenapa tampangmu masam begitu Naruto?", tanya Shikamaru yang sedang membantu Naruto memperbaiki motornya.
"Kau sudah dengar kan, kalau ayahnya Hinata menikah tadi pagi? Saat ini mereka sedang berangkat ke Eropa sebagai sebuah keluarga baru", kata Naruto sambil mengecek kecakraman rem motornya.
"Liburan?", Shikamaru mencoba menebak.
"Entahlah. Yang pasti ayah Hinata dan istrinya sedang bulan madu", jawab Naruto malas.
"Berapa lama?", tanya Shikamaru yang makin penasaran.
"Mungkin seminggu", jawab Naruto yang kemudian melempar kunci inggris yang baru saja dipakainya ke tumpukan peralatan bengkel yang lain.
"Aa, aku tahu. Kau rindu pada Hinata kan? Haha! Seminggu itu tidak lama Naruto. Kau tidak perlu memasang tampang semasam itu", Shikamaru kini mencoba menghibur sahabatnya itu.
". . ."
Naruto tidak membalas ucapan Shikamaru. Hal ini membuat Shikamaru mengernyitkan dahi. Jujur Shikamaru tidak pernah mendengar atau melihat Naruto mempermasalahkan tentang apa yang dilakukan Hinata. Tapi kali ini kenapa lain? Sebenarnya kenapa Naruto begitu kesal dengan kepergian Hinata dan keluarganya walau hanya dalam waktu yang sebentar?
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Seminggu telah berlalu. Keluarga baru Hyuuga telah kembali dari liburan, atau lebih tepatnya bulan madu keliling Eropa ke kediaman mereka. Seharusnya bagi orang yang memiliki pengalaman menyenangkan seperti ini, terlihat lebih ceria saat kembali ke tempat asalnya. Tapi tidak bagi Hinata. Wajahnya sama kusutnya dengan kertas yang diremukkan dan siap dibuang ke tong sampah.
Menurutnya itu bukan liburan, hanya pelarian saat kau bosan di negaramu sendiri. Bayangkan saja! Pagi-pagi sekali Hiashi dan Sakura sudah meninggalkan hotel untuk jalan-jalan. Mereka sama sekali tidak mengajak Hinata untuk pergi bersama mereka. Padahal seharusnya itu momen yang tepat agar keluarga baru mereka menjadi lebih akrab.
Membosankan.
Ingin saja rasanya Hinata langsung terbang pulang ke Jepang. Tapi anak manja ini tidak berani melakukannya sendirian. Mau tidak mau, dia harus menunggu hingga waktu seminggu berakhir, dan pulang bersama ayah dan ibu tirinya.
Hinata berjalan dengan malas menyusuri koridor sekolahnya untuk melaksanakan kegiatan akademisnya seperti biasa. Begitu suntuknya, hingga Hinata tidak menghiraukan lengkingan suara Naruto yang sedang bercanda dengan teman-teman sekelasnya. Naruto memang suka berkunjung ke kelas Hinata. Bukan hanya karena ada Hinata, tapi juga karena beberapa teman sekelas Hinata adalah sahabat Naruto sejak SMP. Terlihat sekali sepertinya mereka sedang membahas sesuatu yang menyenangkan. Sebab suara tawa mereka menjadi headline yang memenuhi kelas Hinata pagi ini.
Hinata meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk dengan dagu bersandar si salah satu telapak tangannya. Dia tidak menyadari saat Naruto dan teman-temannya yang lain sedang menghampirinya.
"Hai, Sweety. Bagaimana liburanmu selama seminggu?", Naruto memulai pembicaraan.
Hinata hanya diam. Dia sedang tidak mood membicarakan tentang liburannya yang membosankan itu.
"Kenapa tidak menjawab Hinata? Ya sudah kalau kau tidak mau cerita. Kami ke sini mau menawarkan niat baik untukmu", tawar Kiba saat Hinata tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan Naruto.
"Bantuan?", tanya Hinata heran.
"Iya, bantuan. Kau kan tidak masuk sekolah selama seminggu. Pastinya kau sudah ketinggalan pelajaran. Belum lagi ada beberapa tugas dari guru yang mungkin kau tidak mengerti mengerjakannya. Itu sebabnya aku, Shikamaru, Kiba, dan Lee akan membantumu untuk mengejar ketinggalanmu. Dan juga kami akan membantu menyelesaikan tugas-tugasmu", jelas Naruto panjang kali lebar.
"Kenapa kau harus ikut juga Naruto? Kau kan tidak sekelas dengan kami", celetuk Lee.
"Kau pikir aku akan membiarkan pacarku sendirian saat bersama kalian?", Naruto balik bertanya.
"Sudah-sudah, tidak perlu ribut", ucap Shikamaru. Dia memang selalu lebih bijak dari teman-temannya yang lain.
"Lagipula ide ini kan datangnya dari Naruto. Jadi biarkan dia ikut", lanjut Shikamaru. Naruto menyeringai.
"Tapi bagaimana caranya? Aku tidak bisa pulang telat. Begitu jam sekolah berakhir, aku harus langsung pulang", tanya Hinata.
"Itu masalah gampang Hinata. Kami yang akan ke rumahmu", giliran Kiba menyeringai. Naruto, Shikamaru, dan Lee mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Ya, kalau begitu sih tidak masalah pikir Hinata. Tapi seringai mereka terlalu berlebihan. Apa mereka begitu senang bisa membantu Hinata belajar? Atau mungkin mereka mempunyai niat lain?
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sesampainya di rumah Hinata.
"Ah, Hinata. Kau sudah pulang. Mm, teman-temanmu juga datang ya?", sambut Sakura saat Hinata pulang.
Belum sempat Hinata membuka mulut, Kiba dan Lee menjawab pertanyaan Sakura.
"Ya. Kami teman-temannya Hinata. Sedang berkenalan dengan anda, Bibi!", ucap mereka serentak dengan semangat '45.
Sakura mengernyitkan dahi. "Panggil saja Sakura-san".
"Baik, Sakura-san", lagi-lagi mereka menjawab serentak dengan memasang tampang orang yang mau mimisan.
'Konyol! Dia minta aku untuk memanggilnya ibu daripada Sakura-san. Tapi di depan teman-temanku, dia ingin dipanggil Sakura-san daripada bibi. Ada-ada saja', gumam Hinata dalam hati.
"Ayo masuk. Aku buatkan minum dan makan siang untuk kalian", ajak Sakura.
Mereka berempat menghambur masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Hinata di luar. Hinata hanya mendesah kemudian ikut masuk ke dalam.
"Wah, Hinata. Ibu tirimu cantik sekali. Masih muda lagi. Jika kalian jalan berdua, pasti orang-orang mengira kalau kalian ini kakak-adik. Kalian sama sekali tidak terlihat seperti ibu dan anak", celoteh Lee begitu mereka duduk di ruang tamu.
Hinata memijit-mijit pelipisnya sambil berharap kebisingan ini segera berakhir dan mereka bisa langsung membantu Hinata belajar.
"Oh ya! Pasti Sakura-san repot kalau sendirian. Aku akan membantunya menyiapkan makan siang", kata Naruto.
"Aku juga ikut", Kiba mengikuti langkah Naruto ke dapur.
Tinggal Hinata, Shikamaru, dan Lee yang ada di ruang tamu.
"Baiklah, Hinata. Ini adalah catatan-catatanku selama seminggu ini", Lee mengeluarkan buku catatan dari tasnya. "Kalau tidak mengerti kau boleh bertanya padaku".
"Dan ini adalah tugas-tugas yang diberikan dari guru kita saat kau tidak masuk. Catatannya sudah ada dari buku Lee. Jika ada soal yang kau tidak mengerti mengerjakannya, kau bisa tanya padaku atau Kiba", lanjut Shikamaru.
"Ya. Terima kasih", ucap Hinata.
Terdengar suara tawa dari dapur. Sepertinya memasak adalah hal yang menyenangkan. Hinata tidak menyadari saat Shikamaru dan Lee meninggalkannya untuk menyusul Naruto dan Kiba ke dapur. Dia terlalu sibuk memindahkan catatan-catatan dari buku Lee sambil mengerjakan esai yang sudah dia temukan jawabannya.
"Makan siang sudah siap!", teriak Sakura dari dapur.
Hinata bangkit dari duduknya untuk melihat ketiga teman dan pacarnya sudah duduk dengan anteng di ruang makan. Kalau saja mereka tidak tahu tata krama, mereka pasti sudah menyantap makanan mereka tanpa menunggu kedatangan Hinata.
'Sepertinya ini bukan hari yang menyenangkan bagiku', pikir Hinata.
Ide gila terlintas di pikiran Kiba saat makan siang telah selesai. "Kita mandi di kolam renang yuk!"
"Ide yang bagus. Cuacanya cukup mendukung untuk berenang", sahut Sakura.
Sebenarnya Shikamaru dan yang lain sempat berpikir untuk menolak ide gilanya Kiba. Namun saat Sakura mengaku setuju dengan idenya Kiba, mereka langsung bersemangat dan rasanya ingin saja langsung terjun ke kolam renang. Sakura pasti kelihatan seksi dengan pakaian renangnya pikir mereka.
Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya lalu bangkit dari kursinya. "Kalian saja. Masih banyak esai yang harus aku kerjakan".
"Yah, tidak seru dong Hinata. Tapi kan ada Sakura-san. Pasti tetap menyenangkan", ucap Lee dengan mata berapi-api.
Hinata merasakan sesuatu yang aneh di perutnya saat mendengarkan suara tawa maniak dari teman-teman dan pacarnya. Sepertinya makanan yang baru saja dia makan menolak untuk dicerna dan keluar lagi dari mulutnya. Dia meletakkan buku catatan Lee di atas tasnya dan merapikan barang-barangnya untuk dibawa ke kamarnya. Dia memilih untuk tidur siang. Catatan dari Lee sudah selesai dia pindahkan. Hanya sedikit lagi soal-soal esai yang belum selesai dan dia bisa mengerjakannya nanti. Otaknya cukup cerdas untuk mengerjakan soal-soal seperti itu. Dia hanya sedikit lelah.
Setelah mengganti bajunya dengan kaos dan celana pendek, Hinata menyempatkan diri melihat ke kolam renang melalui jendela kamarnya.
"Bilang saja mau bertemu ibu tiriku. Tidak perlu memakai alasan ingin membantuku belajar. Aku bahkan mampu mengerjakan semuanya sendiri tanpa dibantu sedikitpun. Huff!", Hinata mendesah sebelum akhirnya terlelap di atas ranjangnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sebulan telah berlalu setelah pernikahan Hiashi dan Sakura. Di luar dugaan Hinata, keluarga baru ini begitu rukun. Padahal Hinata mengira bahwa Sakura akan flirting dengan pria lain. Dia juga tidak banyak meminta ini itu seperti saat pernikahannya dulu. Ini membuat Hinata percaya kalau Sakura menikah dengan ayahnya karena cinta.
Naruto juga semakin sering berkunjung ke kediaman Hyuuga. Percaya atau tidak, Hinata menjadi iri. Namun Hinata bukan iri terhadap Sakura, melainkan iri terhadap Naruto. Karena Naruto begitu akrab dengan Sakura. Hinata heran. Bagaimana mungkin orang luar seperti Naruto jauh lebih akrab dengan ibu tirinya dibandingkan dirinya sendiri yang tinggal serumah dengan Sakura.
Hiashi juga tidak keberatan dengan seringnya Naruto berkunjung ke kediaman Hyuuga. Terkadang Hiashi sudah menganggap Naruto seperti anaknya sendiri.
"Ayah akan berada di Hokkaido selama 2 hari. Ada proyek yang harus ditanda tangani. Jadi selama di sana, sekalian ayah ingin melihat lokasi pengembangan proyeknya", kata Hiashi saat bersiap-siap berangkat ke Hokkaido.
"Sekarang ayah sudah tidak khawatir lagi jika bepergian ke luar kota. Karena ada Sakura yang akan menemanimu", lanjut Hiashi.
"Ya ayah", ucap Hinata singkat.
"Baiklah. Kalau begitu ayah pergi dulu. Kau langsung berangkat ke sekolah saja. Sakura yang akan ikut ke bandara bersama ayah", Hiashi pamit.
"Hati-hati di jalan ya, yah!", Hinata melambaikan tangannya saat mobil beranjak dari kediaman Hyuuga.
'Saatnya pergi ke sekolah'. Hinata pun masuk ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke sekolah.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sesampainya di sekolah, Hinata langsung menghampiri ketiga sahabatnya. Sepertinya mereka sedang asyik membicarakan sesuatu. Tapi Hinata yakin mereka tidak sedang bergosip. Justru mereka benci sekali membicarakan hal yang tidak penting.
"Pagi!", sapa Hinata ramah.
"Pagi, Hinata!", sahut mereka serentak.
"Kalian sedang membicarakan apa? Sepertinya seru sekali", tanya Hinata tanpa basa basi lagi.
"Begini Hinata. Hari ini kami berencana untuk menginap di villaku yang berada di daerah pegunungan. Setelah pulang sekolah nanti, kami langsung menuju ke sana", kata Guren memulai pembicaraan.
"Iya Hinata. Kami telah membicarakan hal ini saat berada di rumah Guren. Waktu itu kau kan tidak datang", sambung Temari.
'Rencana yang menyenangkan', pikir Hinata. 'Pasti ini jauh lebih menyenangkan dari liburan ke Eropa waktu itu', Hinata masih berkutat dengan pikirannya.
"Apa aku boleh ikut?", tanya Hinata.
"Tentu saja, Hinata! Haha!", ucap Tayuya dengan nada sedikit berteriak sambil memukul bahu Hinata.
Hinata hanya tersenyum tipis sambil mengelus-elus bahunya. Tayuya memang lebih tomboy jika dibandingkan dengan sahabatnya yang lain. Sebenarnya pukulan Tayuya tadi tidak sakit. Tapi Hinata cukup terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba.
"Ya sebenarnya kami juga ingin mengajakmu Hinata. Tapi bagaimana dengan ayahmu? Pastinya sulit kan untuk meminta izinnya?", tanya Guren sedikit khawatir.
Hinata tersenyum dengan lebar. "Ayahku sedang berada di Hokkaido. Dan mengenai ibuku, dia pasti akan mengizinkanku. Dia kan masih muda. Dia pasti mengerti".
"Wah! Kalau begitu bagus dong Hinata. Tapi kita akan menginap di sana", kata Temari.
"Menginap pasti lebih seru. Tapi apa kita tidak berkemas dulu untuk membawa pakaian ganti", tanya Hinata.
"Aku punya banyak baju ganti yang pasti muat untuk ukuran kita di villa", jawab Guren bersemangat.
"Dengan begitu tidak ada masalah lagi kan?", Tayuya meyakinkan.
Pembicaraan mereka ditutup dengan tawa saat bel masuk jam pertama berbunyi.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Moshi-moshi", jawab Sakura di ujung telepon.
"Ah, Ibu. Aku minta izin tidak pulang malam ini. Aku diajak menginap di villa salah satu temanku. Boleh kan, Bu?", Hinata meminta izin kepada ibunya.
"Tentu saja boleh, Hinata. Oh ya! Apa kau tidak pulang dulu?", tanya Sakura.
"Tidak, Bu. Kami akan berangkat sekarang juga. Agar kami punya lebih banyak waktu di sana", jawab Hinata.
"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya!", kata Sakura.
"Baik Bu", Hinata menutup teleponnya.
'Saatnya menghubungi Naruto', pikirnya.
Beberapa saat kemudian, Temari menghampiri Hinata untuk mengajaknya ke mobil Guren.
"Ayo Hinata! Kita berangkat sekarang", ajak Temari yang kemudian bingung melihat tingkah temannya.
"Kau sedang menghubungi siapa Hinata? Ibumu ya?", tanya Temari.
"Aku sudah menghubunginya dan dia mengizinkanku pergi. Sekarang aku ingin menghubungi Naruto. Tapi dia tidak mengangkat teleponku", jawab Hinata.
"Mungkin dia sedang menghadiri sebuah rapat", Temari coba menenangkan Hinata.
"Ya. Mungkin saja. Ayo pergi", Hinata dan Temari melangkah ke arah mobil Guren.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Naruto?", Hinata menjawab teleponnya.
"Kau ada di mana Hinata? Sakura-san bilang kau tidak pulang malam ini", tanya Naruto.
"Aku sedang berada di villanya Guren bersama Temari dan Tayuya. Aku sudah mencoba menghubungimu untuk memberitahukannya", jawab Hinata.
"Oh. Aku kira kau membutuhkan bantuanku. Makanya aku langsung menuju ke rumahmu saat melihat panggilan tak terjawab darimu", ucap Naruto lega.
"Tidak. Aku hanya ingin memberitahukanmu kalau aku ada di sini dan tidak pulang malam ini. Kalau begitu kau pulang saja", kata Hinata lembut seperti biasa.
"Ya sudah. Hati-hati ya!", ucap Naruto lalu menutup teleponnya.
Suasana di daerah sekitar villa sangat menyenangkan. Udara yang segar yang jarang bisa didapatkan di kota yang selalu sibuk dan pada penduduk. Villa ini juga cukup luas dan nyaman untuk ditempati. Harusnya ini menjadi malam yang menyenagkan bersama teman-teman saat sebuah telepon dari keluarga Temari merusak suasana bagus yang sudah direncanakan sebelumnya.
"Apa! Kankuro kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit? Baiklah, aku akan segera ke sana", Temari menutup teleponnya dengan panik.
"Aku harus pulang. Kakakku masuk rumah sakit", kata Temari sambil mengumpulkan barang-barangnya.
"Kami ikut", kata Guren.
"Tidak usah. Kalian di sini saja. Aku akan pulang sendiri", Temari melarang.
"Tapi Temari, sangat susah mencari kendaraan umum di sini. Satu-satunya jalan adalah kami ikut pulang bersamamu dengan mobilku", Guren menjelaskan.
"Maaf ya teman-teman. Aku jadi merusak suasana", sesal Temari.
"Jangan bicara seperti itu. Ini adalah musibah", Tayuya menenangkan Temari.
"Tayuya dan Guren benar. Kami akan ikut pulang bersamamu", kata Hinata.
Dengan begitu, keempat sahabat itu meninggalkan villa Guren untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun Guren harus mengantarkan Temari ke rumah sakit.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Sampai jumpa semuanya. Temari, sampaikan salamku pada Kankuro-Nii ya!", kata Hinata saat mereka tiba di rumah Hinata.
"Ya Hinata. Sampai jumpa", mobil pun melaju setelah Temari membalas ucapan Hinata.
Ini sudah hampir tengah malam. Sakura pasti sudah tidur. Semoga saja masih ada pelayan yang terbangun yang bisa membukakan pintu untuknya. Namun langkah masuk Hinata terhenti saat dia melihat motor Naruto yang sedang parkir di halaman rumahnya.
'Naruto masih di sini?', tanya Hinata dalam hati.
Tanpa buang waktu, Hinata langsung masuk ke dalam rumah yang ternyata pintunya tidak terkunci, untuk mencari Naruto. Hinata bisa melihat tas dan barang-barang Naruto yang lain juga masih berada di ruang tamunya. Namun Hinata tidak menemukan Naruto di sana.
'Kenapa pintunya tidak terkunci? Apa karena Naruto masih di sini? Sebenarnya ada di mana dia?', Hinata makin penasaran.
Tiba-tiba Hinata mendengar sebuah suara dari kamar ayahnya. Seperti suara desahan. Tapi terlalu kuat sehingga Hinata bisa mendengarnya dari ruang tamu. Pasti pintu kamar itu sedang terbuka. Hinata menganggap itu sebagai hal yang lumrah sampai dia teringat bahwa ayahnya sedang berada di Hokkaido saat ini. Apa mungkin ayahnya tidak jadi berangkat atau mungkin pulang lebih awal?
Hinata berniat untuk memastikan dan kemudian melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu menuju kamar ayah dan ibunya. 'Mengintip sedikit tidak apa-apa kan?', pikirnya.
Namun apa yang dilihat Hinata saat ini, benar-benar bukanlah hal yang dia duga. Di depan matanya, Sakura -ibu tirinya- dan Naruto –pacarnya-, sedang bercumbu dengan mesra di dalam kamar ayahnya. Hinata tersentak, lututnya melemas. Dia kemudian menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Tidak percaya dengan apa yang dia lihat, Hinata mulai meneteskan air matanya.
Kelihatan sekali bahwa mereka sangat menikmati apa yang mereka lakukan. Sakura melepaskan satu persatu kancing kemeja Naruto untuk kemudian menanggalkannya. Sakura sendiri hanya memakai piyama terusan.
Hinata merasa sesak nafas, padahal dia sendiri tahu bahwa dia tidak punya penyakit seperti itu. Rasanya begitu menyesakkan di dalam dadanya. Dia berharap bahwa semua yang dia lihat ini adalah mimpi. Jika ini memang mimpi, dia berharap akan cepat terbangun sebelum dirinya menjadi gila.
Tapi sayang ini bukan mimpi. Hinata mulai kehilangan kuasa. Dia mencoba mencari pegangan agar tidak ambruk saat itu juga. Dia meletakkan satu tangannya di atas meja yang berada di sebelah pintu bagian luar kamar. Namun sial, Hinata tidak sengaja menyenggol vas bunga yang ada di atasnya sehingga vas itu jatuh ke lantai. Suara vas yang membentur lantai membuat Sakura dan Naruto terkejut lalu menghentikan kegiatan mereka.
Hinata yang jauh lebih terkejut serasa menemukan kekuatannya kembali. Hinata berlari menuju pintu keluar utama dari rumahnya. Tidak ingin terlihat bahwa dia telah memergoki ibu tiri dan pacarnya sedang selingkuh.
Naruto juga keluar dari kamar untuk mencari sumber suara berisik yang mengganggu mereka dan melihat punggung Hinata yang sedang berlari keluar dari rumah.
"Hinata!", Naruto terkejut dan langsung mengejar Hinata. Paling tidak ada yang bisa dia jelaskan kepada Hinata.
Hinata tidak melihat sisi jalan saat berlari sehingga dia hampir saja tertabrak taksi yang sedang melintas.
"Hey, Nona. Perhatikan jalanmu!", teriak supir taksi itu.
Hinata yang sedang linglung kemudian masuk ke dalam taksi untuk menghindari kejaran Naruto.
"Jalan", ucapnya pelan.
Supir taksi yang sedang kebingungan hanya diam.
"Jalan! Aku akan bayar berapapun jika kau membawaku pergi dari sini", perintah Hinata sedikit berteriak.
"Ba-Baik, Nona!", supir taksi pun mengendarai taksinya menjauh dari kediaman Hyuuga.
Hinata menangis sejadi-jadinya di dalam taksi yang membuat supir taksi sedikit khawatir. Namun dia tetap menyetir atas perintah penumpangnya itu.
Naruto melihat Hinata memasuki taksi dan berniat mengejar dengan motornya. Namun akhirnya dia sadar bahwa dia lupa meletakkan kunci motornya di mana.
"Sial!", teriaknya.
Sakura berdiri di depan pintu menyaksikan Naruto yang sedang panik.
"Naruto. Kita harus bicara", ucapnya dengan nada suara yang tidak kalah paniknya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata terus memandang keluar jendela. Bayangan tentang kejadian yang baru saja dia lihat masih terngiang-ngiang di dalam benaknya. Belum lagi kekesalannya kepada supir taksi yang terus-terusan bertanya kemana tujuannya. Hinata sadar ini sudah sangat larut malam. Pasti supir taksi ini sudah sampai di rumahnya jika saja Hinata tidak masuk ke taksinya dan menyuruhnya untuk berkeliling-keliling dengan taksinya.
Namun Hinata tidak tahu kemana harus pergi. Hinata lalu membayangkan 3 orang sahabatnya. Temari, tidak mungkin. Dia pasti sedang berada di rumah sakit sekarang. Dan Hinata tidak mau menambah masalah Temari dengan kedatangannya. Guren, juga tidak mungkin. Dia sudah berjam-jam menyetir satu hari ini. Dia pasti sangat lelah dan sudah terlelap dalam tidurnya. Hinata tidak mau mengganggu istirahatnya Guren.
Sepertinya pilihan tersisa pada Tayuya. Gadis ini terkenal dengan insomnianya. Dan dia juga selalu cuek dengan masalah orang lain. Dia pasti tidak akan bertanya tentang kedatangan Hinata ke rumahnya. Hinata hanya perlu mencari alasan jitu yang mampu mengelabui Tayuya.
"Halo! Ada apa Hinata?", tanya Tayuya begitu dia mengangkat teleponnya.
"Kau sudah tidur Tayuya?" tanya Hinata balik.
"Belum. Aku sedang memasak makan malam. Lapar sekali rasanya setelah perjalanan jauh. Haha!", jawab Tayuya dengan tawa khasnya.
"Mm, aku boleh bermalam di rumahmu tidak? Sepertinya orang-orang di rumahku sudah pada tidur. Tidak ada yang membukakan pintu untukku", Hinata berbohong.
"Tentu saja boleh Hinata. Bagus sekali malah. Ada yang membantuku menghabiskan masakanku. Sepertinya terlalu banyak untuk porsi 1 orang", Tayuya berceloteh ria di teleponnya. Namun Hinata tidak memperhatikan semua yang dikatakan Tayuya. Dia hanya ingin malam ini berakhir dengan cepat.
Sesaat setelah menutup teleponnya, Hinata memberitahukan tujuannya kepada supir taksi yang sudah mulai mengantuk sejak tadi. Dia langsung menyunggingkan senyum begitu tahu perjalanan penumpangnya akan segera berakhir.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Keesokan harinya saat pulang dari rumah Tayuya, Hinata ragu-ragu untuk melangkah masuk ke rumahnya. Tapi ini adalah rumahnya sendiri. Seharusnya Sakura lah yang merasa malu untuk masuk ke rumah ini.
Begitu masuk, Hinata hanya punya satu tujuan. Menemuimu salah satu pelayan di rumahnya.
"Anda sudah pulang Hinata-sama?", sapa seorang pelayan yang dihampiri Hinata.
"Ya, baru saja. Aku ingin bertanya. Apa kau tahu jam berapa Naruto pulang tadi malam?", tanya Hinata penuh selidik.
"Tadi malam? Naruto-san sudah pulang sejak sore. Dan sepertinya dia tidak kembali lagi tadi malam", jawab pelayan itu.
Hinata mengernyitkan dahi. "Memangnya kalian ada di mana tadi malam?", Hinata menyadari keabsenan para pelayannya tadi malam di kediaman Hyuuga.
"Err . . . itu", pelayan itu bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan Hinata.
"Jawab saja dengan jujur. Aku tidak akan mengadukannya pada ayah", Hinata meyakinkan pelayannya.
"Kami semua pergi ke pub untuk merayakan ulang tahunnya Juugo. Semua biayanya ditanggung oleh Sakura-sama", jawab pelayan itu dengan yakin.
Terjawablah sudah semua pertanyaan yang membingungkan Hinata. Ini semua sudah direncanakan. Dan rencana itu berhasil karena adanya suatu kebetulan. Kebetulan yang sempurna. Keberangkatan ayahnya ke Hokkaido, Hinata yang bermalam di villa Guren, dan pesta ulang tahun salah satu bodyguard ayahnya -Juugo-.
"Aku sedikit pusing. Aku akan beristirahat di kamar. Jika ayah sudah pulang, tolong katakan padanya ada yang ingin aku bicarakan", kata Hinata seraya beranjak ke kamarnya.
"Baik, Hinata-sama", pelayan itu membungkukkan badannya.
Saat berjalan ke kamarnya, Hinata berpapasan dengan Sakura. Sakura membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Namun Hinata memotongnya dengan membanting pintu kamarnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Hinata-sama. Hiashi-sama menunggu anda di ruangannya", seorang pelayan memanggil Hinata dari luar kamarnya.
"Ya", sahut Hinata singkat.
Dia telah berpikir dengan matang satu hari ini. Dan dia harap, keputusannya adalah yang terbaik untuk saat ini. Dia juga sudah memikirkan segala macam resiko yang akan dia hadapi saat berbicara dengan ayahnya nanti.
Sakura yang melihat Hinata berdiri di luar ruang kerja Hiashi hanya bisa bergumam 'Tamatlah riwayatku'.
Hinata melangkah masuk ke ruang kerja ayahnya dan duduk di seberangnya. Ayah dan anak ini saling bertatapan. Terlintas keraguan di mata Hinata saat menatap mata dingin ayahnya. Namun dia harus berani seperti seorang Hyuuga sejati. Dia tidak akan menyerah hanya karena masalah ini.
"Apa tujuanmu datang kemari Hinata?", tanya Hiashi datar.
Hinata mengangkat kepalanya dengan mantap. Dia sudah yakin dengan apa yang akan diucapkannya kepada ayahnya.
"Ada hal penting, yang ingin aku bicarakan dengan Ayah", jawab Hinata sama datarnya.
Hiashi memperbaiki posisi duduknya. Dia menganggap orang yang berbicara di hadapannya saat ini bukanlah putrinya. Melainkan seorang pewaris Hyuuga.