Sudah sejam lebih dia menunggu kedatangan calon ibu barunya di kediaman Hyuuga. Sepi, hening, tenang. Hanya detak jarum jam yang mendominasi suara di dalam ruangan yang ditempatinya sekarang ini. Ruangan ini adalah ruangan yang dipergunakan untuk acara-acara resmi, acara kelurga, ataupun rapat penting Hiashi dengan relasinya.
"Apa perlu bertemu di ruangan ini? Lagian kenapa mereka lama sekali? Kalau tahu mereka akan telat begini, lebih baik aku bangun lama-lama saja", gerutu Hinata.
Dia memang kurang tidur tadi malam. Hiashi memaksa matanya untuk tetap terbuka mengingat Hiashi membutuhkan bantuannya mengenai pernikahan yang akan digelar kurang dari waktu seminggu. Anehnya Hiashi yang tidak tidur sama sekali, justru terlihat sangat segar tanpa kantuk hari ini.
"Terlalu terburu-buru. Sepertinya ayah begitu senang dengan wanita ini. Sampai-sampai dia ingin memiliki wanita itu secepatnya. Hah, lihat saja senyum itu. Aku penasaran wanita seperti apa yang bisa membuat pria sedingin Hyuuga Hiashi tersenyum sehangat itu?", Hinata menggerutu lagi.
Untung saja tidak ada orang di dekat ruangan pada saat itu. Jika ada, pasti Hinata sudah dicap gila karena mengoceh sendiri sejak tadi.
"Haaaaahh", lagi-lagi Hinata menghembuskan nafas panjang. Setiap orang pasti setuju jika menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan.
Sebenarnya suara mesin mobil Hiashi sudah kedengaran di luar. Pelayan juga sudah membukakan pintu untuk Hiashi dan wanita yang sedang digandengnya. Tapi Hinata tidak menyadarinya sebab dia dalam keadaan setengah tidur. Saat Hinata sudah mulai terlelap, terdengar suara derapan kaki di luar ruangan yang membuat Hinata terlonjak dari kursinya.
Ya Tuhan. Pasti tampangnya terlihat berantakan saat ini. Tapi Hinata harus tetap terlihat elegan seperti Hyuuga kebanyakan.
'Huff. Hampir saja aku ketiduran', gumamnya dalam hati.
Hinata mengambil posisi tidak jauh dari pintu ruangan. Melalui pintu ini, akan masuk seseorang yang akan berpengaruh besar dalam kehidupan Hinata dan ayahnya. Pintu ruangan dibukakan oleh dua orang pelayan Hyuuga yang berpakaian rapi. Seperti mempersilakan Raja dan Ratu untuk duduk di singgasana mereka, Hiashi dan calon istrinya memasuki ruangan yang sedari tadi menjadi saksi gerutuan Hinata.
Hinata tersentak, matanya membelalak. 'Wanita ini . . .', dia mulai mengingat-ingat. 'Wanita yang ada di pesta kemarin. Yang memakai gaun berwarna magenta'. Hinata masih mengingat dengan jelas rupa wanita yang sekarang berdiri tepat di hadapannya.
"Hinata", Hiashi memecah keheningan yang sempat tercipta saat mereka masuk.
"Perkenalkan. Ini calon ibumu", Hiashi memperkenalkan calon istrinya kepada putrinya.
"Hai. Perkenalkan, namaku Haruno Sakura".
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Hey, Temari. Hinata tidak datang ya?", tanya Guren saat dirinya, Temari, dan Tayuya sedang berkumpul di rumahnya. Setiap hari minggu, mereka pasti berkunjung ke rumah sahabat mereka. Dan minggu ini adalah giliran rumahnya Guren yang dikunjungi."Sepertinya tidak. Aku rasa dia akan bertemu calon ibu tirinya hari ini", jawab Temari.
"Oh ya! Kemarin kan Hinata cerita kalau ayahnya akan menikah lagi. Kira-kira dengan siapa ya? Kita lihat ke rumahnya yuk!" ajak Tayuya.
"Jangan! Berikan waktu kepada Hinata untuk lebih mengenal ibu barunya. Setelah ayahnya menikah, kita kan tetap bisa melihat ibu barunya Hinata", Temari melarang.
"Aku kurang yakin kalau mereka bisa dekat seperti ibu dan anak pada umumnya. Kalian tahu sendiri kan bagaimana sifatnya Hinata. Dia lebih banyak diam. Bahkan dengan kita yang sahabatnya pun dia tidak begitu terbuka", Guren menimpali.
"Kau benar juga. Jika ada masalah dengan Naruto saja dia tidak pernah mau cerita. Aku tidak percaya kalau mereka sama sekali tidak pernah bertengkar", Tayuya mengiyakan.
"Yahh, semoga saja Hinata bisa dekat dengan ibu barunya. Dia pasti sudah lupa bagaimana rasanya punya ibu sejak dia berusia 5 tahun", ucap Temari.
"Semoga saja", ucap Guren dan Tayuya serentak.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata terlihat sibuk di kamarnya. Dengan pakaian seperti ini, dia harus menyesuaikan pergerakannya. Jika bergerak terlalu cepat, dia akan berkeringat. Tidak hanya itu. Dress putih yang dipakainya bisa jadi kusut atau kotor. Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Sebab dia akan menjadi pengiring pengantin wanita hari ini.Belum lagi ide bulan madu keliling Eropa. Sebenarnya Hinata tidak ingin ikut. Tapi saat dia mencoba mengingat kapan terakhir kali dia berlibur bersama ayahnya, Hinata berubah pikiran. Itu sudah lama sekali dan dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk berlibur lagi bersama ayahnya, dan juga ibu barunya.
Sialnya, perjalanan akan dimulai setelah resepsi selesai. Itu artinya mereka akan berangkat malam ini juga. Itu sebabnya Hinata berkemas-kemas sebelum resepsi dimulai.
"Huff, selesai juga", Hinata lega.
"Hinata-sama. Resepsi akan segera dimulai. Sakura-sama telah menunggu anda di ruangannya", ucap salah seorang pelayan.
"Baik. Aku ke sana sekarang", Hinata beranjak dari kamarnya menuju ruangan Sakura.
"Aku sudah tidak sabar Hinata", kata Sakura saat dia menyadari keberadaan Hinata di ruangannya.
Hinata mengambil keranjang berisi bunga yang akan dibawanya saat mengiringi Sakura. "Sebentar lagi Sakura-san".
"Aku harap kau memanggilku ibu saat resepsi ini selesai", pinta Sakura.
"Apa anda benar-benar ingin dipanggil ibu? Menurutku anda terlalu muda untuk panggilan itu. Sepertinya lebih cocok jika aku memanggilmu Onee-chan", timpal Hinata.
Sakura tertawa. "Aku adalah istri ayahmu. Itu artinya kau memanggilku dengan sebutan ibu".
Hinata hanya diam. Dia masih belum terbiasa berada di dekat Sakura. Baginya ini masih terasa asing.
"Sudah waktunya", seorang pelayan mengisyaratkan bahwa resepsi akan segera dimulai.
Hinata membantu Sakura berjalan dengan gaun pengantinnya menuju ke luar ruangan. Saat Sakura melangkah di karpet merah dengan diikuti Hinata, semua mata tertuju kepada mereka. Tapi itu hanya sesaat. Begitu pengantin wanita semakin mendekati altar, hanya Sakura yang menjadi pusat perhatian seluruh tamu undangan.
Ini bukan karena Hinata tidak cantik. Dia sangat cantik malah. Tapi bagaimanapun di dalam sebuah resepsi pernikahan, kedua pasang pengantinlah yang mendapat perhatian paling banyak.
Minder.
Tentu itu dirasakan Hinata. Dia ingin ini semua cepat selesai. Sebelum dia merasa pusing dan berakhir dengan pingsan. Sepertinya keinginan Hinata terkabul. Karena pengantin wanita sudah tidak sabar untuk berbulan madu bersama suami barunya. Err, tak lupa pula anak tirinya tentunya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kenapa tampangmu masam begitu Naruto?", tanya Shikamaru yang sedang membantu Naruto memperbaiki motornya."Kau sudah dengar kan, kalau ayahnya Hinata menikah tadi pagi? Saat ini mereka sedang berangkat ke Eropa sebagai sebuah keluarga baru", kata Naruto sambil mengecek kecakraman rem motornya.
"Liburan?", Shikamaru mencoba menebak.
"Entahlah. Yang pasti ayah Hinata dan istrinya sedang bulan madu", jawab Naruto malas.
"Berapa lama?", tanya Shikamaru yang makin penasaran.
"Mungkin seminggu", jawab Naruto yang kemudian melempar kunci inggris yang baru saja dipakainya ke tumpukan peralatan bengkel yang lain.
"Aa, aku tahu. Kau rindu pada Hinata kan? Haha! Seminggu itu tidak lama Naruto. Kau tidak perlu memasang tampang semasam itu", Shikamaru kini mencoba menghibur sahabatnya itu.
". . ."
Naruto tidak membalas ucapan Shikamaru. Hal ini membuat Shikamaru mengernyitkan dahi. Jujur Shikamaru tidak pernah mendengar atau melihat Naruto mempermasalahkan tentang apa yang dilakukan Hinata. Tapi kali ini kenapa lain? Sebenarnya kenapa Naruto begitu kesal dengan kepergian Hinata dan keluarganya walau hanya dalam waktu yang sebentar?
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Seminggu telah berlalu. Keluarga baru Hyuuga telah kembali dari liburan, atau lebih tepatnya bulan madu keliling Eropa ke kediaman mereka. Seharusnya bagi orang yang memiliki pengalaman menyenangkan seperti ini, terlihat lebih ceria saat kembali ke tempat asalnya. Tapi tidak bagi Hinata. Wajahnya sama kusutnya dengan kertas yang diremukkan dan siap dibuang ke tong sampah.Menurutnya itu bukan liburan, hanya pelarian saat kau bosan di negaramu sendiri. Bayangkan saja! Pagi-pagi sekali Hiashi dan Sakura sudah meninggalkan hotel untuk jalan-jalan. Mereka sama sekali tidak mengajak Hinata untuk pergi bersama mereka. Padahal seharusnya itu momen yang tepat agar keluarga baru mereka menjadi lebih akrab.
Membosankan.
Ingin saja rasanya Hinata langsung terbang pulang ke Jepang. Tapi anak manja ini tidak berani melakukannya sendirian. Mau tidak mau, dia harus menunggu hingga waktu seminggu berakhir, dan pulang bersama ayah dan ibu tirinya.
Hinata berjalan dengan malas menyusuri koridor sekolahnya untuk melaksanakan kegiatan akademisnya seperti biasa. Begitu suntuknya, hingga Hinata tidak menghiraukan lengkingan suara Naruto yang sedang bercanda dengan teman-teman sekelasnya. Naruto memang suka berkunjung ke kelas Hinata. Bukan hanya karena ada Hinata, tapi juga karena beberapa teman sekelas Hinata adalah sahabat Naruto sejak SMP. Terlihat sekali sepertinya mereka sedang membahas sesuatu yang menyenangkan. Sebab suara tawa mereka menjadi headline yang memenuhi kelas Hinata pagi ini.
Hinata meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk dengan dagu bersandar si salah satu telapak tangannya. Dia tidak menyadari saat Naruto dan teman-temannya yang lain sedang menghampirinya.
"Hai, Sweety. Bagaimana liburanmu selama seminggu?", Naruto memulai pembicaraan.
Hinata hanya diam. Dia sedang tidak mood membicarakan tentang liburannya yang membosankan itu.
"Kenapa tidak menjawab Hinata? Ya sudah kalau kau tidak mau cerita. Kami ke sini mau menawarkan niat baik untukmu", tawar Kiba saat Hinata tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan Naruto.
"Bantuan?", tanya Hinata heran.
"Iya, bantuan. Kau kan tidak masuk sekolah selama seminggu. Pastinya kau sudah ketinggalan pelajaran. Belum lagi ada beberapa tugas dari guru yang mungkin kau tidak mengerti mengerjakannya. Itu sebabnya aku, Shikamaru, Kiba, dan Lee akan membantumu untuk mengejar ketinggalanmu. Dan juga kami akan membantu menyelesaikan tugas-tugasmu", jelas Naruto panjang kali lebar.
"Kenapa kau harus ikut juga Naruto? Kau kan tidak sekelas dengan kami", celetuk Lee.
"Kau pikir aku akan membiarkan pacarku sendirian saat bersama kalian?", Naruto balik bertanya.
"Sudah-sudah, tidak perlu ribut", ucap Shikamaru. Dia memang selalu lebih bijak dari teman-temannya yang lain.
"Lagipula ide ini kan datangnya dari Naruto. Jadi biarkan dia ikut", lanjut Shikamaru. Naruto menyeringai.
"Tapi bagaimana caranya? Aku tidak bisa pulang telat. Begitu jam sekolah berakhir, aku harus langsung pulang", tanya Hinata.
"Itu masalah gampang Hinata. Kami yang akan ke rumahmu", giliran Kiba menyeringai. Naruto, Shikamaru, dan Lee mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Ya, kalau begitu sih tidak masalah pikir Hinata. Tapi seringai mereka terlalu berlebihan. Apa mereka begitu senang bisa membantu Hinata belajar? Atau mungkin mereka mempunyai niat lain?
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sesampainya di rumah Hinata."Ah, Hinata. Kau sudah pulang. Mm, teman-temanmu juga datang ya?", sambut Sakura saat Hinata pulang.
Belum sempat Hinata membuka mulut, Kiba dan Lee menjawab pertanyaan Sakura.
"Ya. Kami teman-temannya Hinata. Sedang berkenalan dengan anda, Bibi!", ucap mereka serentak dengan semangat '45.
Sakura mengernyitkan dahi. "Panggil saja Sakura-san".
"Baik, Sakura-san", lagi-lagi mereka menjawab serentak dengan memasang tampang orang yang mau mimisan.
'Konyol! Dia minta aku untuk memanggilnya ibu daripada Sakura-san. Tapi di depan teman-temanku, dia ingin dipanggil Sakura-san daripada bibi. Ada-ada saja', gumam Hinata dalam hati.
"Ayo masuk. Aku buatkan minum dan makan siang untuk kalian", ajak Sakura.
Mereka berempat menghambur masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Hinata di luar. Hinata hanya mendesah kemudian ikut masuk ke dalam.
"Wah, Hinata. Ibu tirimu cantik sekali. Masih muda lagi. Jika kalian jalan berdua, pasti orang-orang mengira kalau kalian ini kakak-adik. Kalian sama sekali tidak terlihat seperti ibu dan anak", celoteh Lee begitu mereka duduk di ruang tamu.
Hinata memijit-mijit pelipisnya sambil berharap kebisingan ini segera berakhir dan mereka bisa langsung membantu Hinata belajar.
"Oh ya! Pasti Sakura-san repot kalau sendirian. Aku akan membantunya menyiapkan makan siang", kata Naruto.
"Aku juga ikut", Kiba mengikuti langkah Naruto ke dapur.
Tinggal Hinata, Shikamaru, dan Lee yang ada di ruang tamu.
"Baiklah, Hinata. Ini adalah catatan-catatanku selama seminggu ini", Lee mengeluarkan buku catatan dari tasnya. "Kalau tidak mengerti kau boleh bertanya padaku".
"Dan ini adalah tugas-tugas yang diberikan dari guru kita saat kau tidak masuk. Catatannya sudah ada dari buku Lee. Jika ada soal yang kau tidak mengerti mengerjakannya, kau bisa tanya padaku atau Kiba", lanjut Shikamaru.
"Ya. Terima kasih", ucap Hinata.
Terdengar suara tawa dari dapur. Sepertinya memasak adalah hal yang menyenangkan. Hinata tidak menyadari saat Shikamaru dan Lee meninggalkannya untuk menyusul Naruto dan Kiba ke dapur. Dia terlalu sibuk memindahkan catatan-catatan dari buku Lee sambil mengerjakan esai yang sudah dia temukan jawabannya.
"Makan siang sudah siap!", teriak Sakura dari dapur.
Hinata bangkit dari duduknya untuk melihat ketiga teman dan pacarnya sudah duduk dengan anteng di ruang makan. Kalau saja mereka tidak tahu tata krama, mereka pasti sudah menyantap makanan mereka tanpa menunggu kedatangan Hinata.
'Sepertinya ini bukan hari yang menyenangkan bagiku', pikir Hinata.
Ide gila terlintas di pikiran Kiba saat makan siang telah selesai. "Kita mandi di kolam renang yuk!"
"Ide yang bagus. Cuacanya cukup mendukung untuk berenang", sahut Sakura.
Sebenarnya Shikamaru dan yang lain sempat berpikir untuk menolak ide gilanya Kiba. Namun saat Sakura mengaku setuju dengan idenya Kiba, mereka langsung bersemangat dan rasanya ingin saja langsung terjun ke kolam renang. Sakura pasti kelihatan seksi dengan pakaian renangnya pikir mereka.
Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya lalu bangkit dari kursinya. "Kalian saja. Masih banyak esai yang harus aku kerjakan".
"Yah, tidak seru dong Hinata. Tapi kan ada Sakura-san. Pasti tetap menyenangkan", ucap Lee dengan mata berapi-api.
Hinata merasakan sesuatu yang aneh di perutnya saat mendengarkan suara tawa maniak dari teman-teman dan pacarnya. Sepertinya makanan yang baru saja dia makan menolak untuk dicerna dan keluar lagi dari mulutnya. Dia meletakkan buku catatan Lee di atas tasnya dan merapikan barang-barangnya untuk dibawa ke kamarnya. Dia memilih untuk tidur siang. Catatan dari Lee sudah selesai dia pindahkan. Hanya sedikit lagi soal-soal esai yang belum selesai dan dia bisa mengerjakannya nanti. Otaknya cukup cerdas untuk mengerjakan soal-soal seperti itu. Dia hanya sedikit lelah.
Setelah mengganti bajunya dengan kaos dan celana pendek, Hinata menyempatkan diri melihat ke kolam renang melalui jendela kamarnya.
"Bilang saja mau bertemu ibu tiriku. Tidak perlu memakai alasan ingin membantuku belajar. Aku bahkan mampu mengerjakan semuanya sendiri tanpa dibantu sedikitpun. Huff!", Hinata mendesah sebelum akhirnya terlelap di atas ranjangnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sebulan telah berlalu setelah pernikahan Hiashi dan Sakura. Di luar dugaan Hinata, keluarga baru ini begitu rukun. Padahal Hinata mengira bahwa Sakura akan flirting dengan pria lain. Dia juga tidak banyak meminta ini itu seperti saat pernikahannya dulu. Ini membuat Hinata percaya kalau Sakura menikah dengan ayahnya karena cinta.Naruto juga semakin sering berkunjung ke kediaman Hyuuga. Percaya atau tidak, Hinata menjadi iri. Namun Hinata bukan iri terhadap Sakura, melainkan iri terhadap Naruto. Karena Naruto begitu akrab dengan Sakura. Hinata heran. Bagaimana mungkin orang luar seperti Naruto jauh lebih akrab dengan ibu tirinya dibandingkan dirinya sendiri yang tinggal serumah dengan Sakura.
Hiashi juga tidak keberatan dengan seringnya Naruto berkunjung ke kediaman Hyuuga. Terkadang Hiashi sudah menganggap Naruto seperti anaknya sendiri.
"Ayah akan berada di Hokkaido selama 2 hari. Ada proyek yang harus ditanda tangani. Jadi selama di sana, sekalian ayah ingin melihat lokasi pengembangan proyeknya", kata Hiashi saat bersiap-siap berangkat ke Hokkaido.
"Sekarang ayah sudah tidak khawatir lagi jika bepergian ke luar kota. Karena ada Sakura yang akan menemanimu", lanjut Hiashi.
"Ya ayah", ucap Hinata singkat.
"Baiklah. Kalau begitu ayah pergi dulu. Kau langsung berangkat ke sekolah saja. Sakura yang akan ikut ke bandara bersama ayah", Hiashi pamit.
"Hati-hati di jalan ya, yah!", Hinata melambaikan tangannya saat mobil beranjak dari kediaman Hyuuga.
'Saatnya pergi ke sekolah'. Hinata pun masuk ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke sekolah.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sesampainya di sekolah, Hinata langsung menghampiri ketiga sahabatnya. Sepertinya mereka sedang asyik membicarakan sesuatu. Tapi Hinata yakin mereka tidak sedang bergosip. Justru mereka benci sekali membicarakan hal yang tidak penting."Pagi!", sapa Hinata ramah.
"Pagi, Hinata!", sahut mereka serentak.
"Kalian sedang membicarakan apa? Sepertinya seru sekali", tanya Hinata tanpa basa basi lagi.
"Begini Hinata. Hari ini kami berencana untuk menginap di villaku yang berada di daerah pegunungan. Setelah pulang sekolah nanti, kami langsung menuju ke sana", kata Guren memulai pembicaraan.
"Iya Hinata. Kami telah membicarakan hal ini saat berada di rumah Guren. Waktu itu kau kan tidak datang", sambung Temari.
'Rencana yang menyenangkan', pikir Hinata. 'Pasti ini jauh lebih menyenangkan dari liburan ke Eropa waktu itu', Hinata masih berkutat dengan pikirannya.
"Apa aku boleh ikut?", tanya Hinata.
"Tentu saja, Hinata! Haha!", ucap Tayuya dengan nada sedikit berteriak sambil memukul bahu Hinata.
Hinata hanya tersenyum tipis sambil mengelus-elus bahunya. Tayuya memang lebih tomboy jika dibandingkan dengan sahabatnya yang lain. Sebenarnya pukulan Tayuya tadi tidak sakit. Tapi Hinata cukup terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba.
"Ya sebenarnya kami juga ingin mengajakmu Hinata. Tapi bagaimana dengan ayahmu? Pastinya sulit kan untuk meminta izinnya?", tanya Guren sedikit khawatir.
Hinata tersenyum dengan lebar. "Ayahku sedang berada di Hokkaido. Dan mengenai ibuku, dia pasti akan mengizinkanku. Dia kan masih muda. Dia pasti mengerti".
"Wah! Kalau begitu bagus dong Hinata. Tapi kita akan menginap di sana", kata Temari.
"Menginap pasti lebih seru. Tapi apa kita tidak berkemas dulu untuk membawa pakaian ganti", tanya Hinata.
"Aku punya banyak baju ganti yang pasti muat untuk ukuran kita di villa", jawab Guren bersemangat.
"Dengan begitu tidak ada masalah lagi kan?", Tayuya meyakinkan.
Pembicaraan mereka ditutup dengan tawa saat bel masuk jam pertama berbunyi.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Moshi-moshi", jawab Sakura di ujung telepon."Ah, Ibu. Aku minta izin tidak pulang malam ini. Aku diajak menginap di villa salah satu temanku. Boleh kan, Bu?", Hinata meminta izin kepada ibunya.
"Tentu saja boleh, Hinata. Oh ya! Apa kau tidak pulang dulu?", tanya Sakura.
"Tidak, Bu. Kami akan berangkat sekarang juga. Agar kami punya lebih banyak waktu di sana", jawab Hinata.
"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya!", kata Sakura.
"Baik Bu", Hinata menutup teleponnya.
'Saatnya menghubungi Naruto', pikirnya.
Beberapa saat kemudian, Temari menghampiri Hinata untuk mengajaknya ke mobil Guren.
"Ayo Hinata! Kita berangkat sekarang", ajak Temari yang kemudian bingung melihat tingkah temannya.
"Kau sedang menghubungi siapa Hinata? Ibumu ya?", tanya Temari.
"Aku sudah menghubunginya dan dia mengizinkanku pergi. Sekarang aku ingin menghubungi Naruto. Tapi dia tidak mengangkat teleponku", jawab Hinata.
"Mungkin dia sedang menghadiri sebuah rapat", Temari coba menenangkan Hinata.
"Ya. Mungkin saja. Ayo pergi", Hinata dan Temari melangkah ke arah mobil Guren.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Naruto?", Hinata menjawab teleponnya."Kau ada di mana Hinata? Sakura-san bilang kau tidak pulang malam ini", tanya Naruto.
"Aku sedang berada di villanya Guren bersama Temari dan Tayuya. Aku sudah mencoba menghubungimu untuk memberitahukannya", jawab Hinata.
"Oh. Aku kira kau membutuhkan bantuanku. Makanya aku langsung menuju ke rumahmu saat melihat panggilan tak terjawab darimu", ucap Naruto lega.
"Tidak. Aku hanya ingin memberitahukanmu kalau aku ada di sini dan tidak pulang malam ini. Kalau begitu kau pulang saja", kata Hinata lembut seperti biasa.
"Ya sudah. Hati-hati ya!", ucap Naruto lalu menutup teleponnya.
Suasana di daerah sekitar villa sangat menyenangkan. Udara yang segar yang jarang bisa didapatkan di kota yang selalu sibuk dan pada penduduk. Villa ini juga cukup luas dan nyaman untuk ditempati. Harusnya ini menjadi malam yang menyenagkan bersama teman-teman saat sebuah telepon dari keluarga Temari merusak suasana bagus yang sudah direncanakan sebelumnya.
"Apa! Kankuro kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit? Baiklah, aku akan segera ke sana", Temari menutup teleponnya dengan panik.
"Aku harus pulang. Kakakku masuk rumah sakit", kata Temari sambil mengumpulkan barang-barangnya.
"Kami ikut", kata Guren.
"Tidak usah. Kalian di sini saja. Aku akan pulang sendiri", Temari melarang.
"Tapi Temari, sangat susah mencari kendaraan umum di sini. Satu-satunya jalan adalah kami ikut pulang bersamamu dengan mobilku", Guren menjelaskan.
"Maaf ya teman-teman. Aku jadi merusak suasana", sesal Temari.
"Jangan bicara seperti itu. Ini adalah musibah", Tayuya menenangkan Temari.
"Tayuya dan Guren benar. Kami akan ikut pulang bersamamu", kata Hinata.
Dengan begitu, keempat sahabat itu meninggalkan villa Guren untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun Guren harus mengantarkan Temari ke rumah sakit.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Sampai jumpa semuanya. Temari, sampaikan salamku pada Kankuro-Nii ya!", kata Hinata saat mereka tiba di rumah Hinata."Ya Hinata. Sampai jumpa", mobil pun melaju setelah Temari membalas ucapan Hinata.
Ini sudah hampir tengah malam. Sakura pasti sudah tidur. Semoga saja masih ada pelayan yang terbangun yang bisa membukakan pintu untuknya. Namun langkah masuk Hinata terhenti saat dia melihat motor Naruto yang sedang parkir di halaman rumahnya.
'Naruto masih di sini?', tanya Hinata dalam hati.
Tanpa buang waktu, Hinata langsung masuk ke dalam rumah yang ternyata pintunya tidak terkunci, untuk mencari Naruto. Hinata bisa melihat tas dan barang-barang Naruto yang lain juga masih berada di ruang tamunya. Namun Hinata tidak menemukan Naruto di sana.
'Kenapa pintunya tidak terkunci? Apa karena Naruto masih di sini? Sebenarnya ada di mana dia?', Hinata makin penasaran.
Tiba-tiba Hinata mendengar sebuah suara dari kamar ayahnya. Seperti suara desahan. Tapi terlalu kuat sehingga Hinata bisa mendengarnya dari ruang tamu. Pasti pintu kamar itu sedang terbuka. Hinata menganggap itu sebagai hal yang lumrah sampai dia teringat bahwa ayahnya sedang berada di Hokkaido saat ini. Apa mungkin ayahnya tidak jadi berangkat atau mungkin pulang lebih awal?
Hinata berniat untuk memastikan dan kemudian melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu menuju kamar ayah dan ibunya. 'Mengintip sedikit tidak apa-apa kan?', pikirnya.
Namun apa yang dilihat Hinata saat ini, benar-benar bukanlah hal yang dia duga. Di depan matanya, Sakura -ibu tirinya- dan Naruto –pacarnya-, sedang bercumbu dengan mesra di dalam kamar ayahnya. Hinata tersentak, lututnya melemas. Dia kemudian menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Tidak percaya dengan apa yang dia lihat, Hinata mulai meneteskan air matanya.
Kelihatan sekali bahwa mereka sangat menikmati apa yang mereka lakukan. Sakura melepaskan satu persatu kancing kemeja Naruto untuk kemudian menanggalkannya. Sakura sendiri hanya memakai piyama terusan.
Hinata merasa sesak nafas, padahal dia sendiri tahu bahwa dia tidak punya penyakit seperti itu. Rasanya begitu menyesakkan di dalam dadanya. Dia berharap bahwa semua yang dia lihat ini adalah mimpi. Jika ini memang mimpi, dia berharap akan cepat terbangun sebelum dirinya menjadi gila.
Tapi sayang ini bukan mimpi. Hinata mulai kehilangan kuasa. Dia mencoba mencari pegangan agar tidak ambruk saat itu juga. Dia meletakkan satu tangannya di atas meja yang berada di sebelah pintu bagian luar kamar. Namun sial, Hinata tidak sengaja menyenggol vas bunga yang ada di atasnya sehingga vas itu jatuh ke lantai. Suara vas yang membentur lantai membuat Sakura dan Naruto terkejut lalu menghentikan kegiatan mereka.
Hinata yang jauh lebih terkejut serasa menemukan kekuatannya kembali. Hinata berlari menuju pintu keluar utama dari rumahnya. Tidak ingin terlihat bahwa dia telah memergoki ibu tiri dan pacarnya sedang selingkuh.
Naruto juga keluar dari kamar untuk mencari sumber suara berisik yang mengganggu mereka dan melihat punggung Hinata yang sedang berlari keluar dari rumah.
"Hinata!", Naruto terkejut dan langsung mengejar Hinata. Paling tidak ada yang bisa dia jelaskan kepada Hinata.
Hinata tidak melihat sisi jalan saat berlari sehingga dia hampir saja tertabrak taksi yang sedang melintas.
"Hey, Nona. Perhatikan jalanmu!", teriak supir taksi itu.
Hinata yang sedang linglung kemudian masuk ke dalam taksi untuk menghindari kejaran Naruto.
"Jalan", ucapnya pelan.
Supir taksi yang sedang kebingungan hanya diam.
"Jalan! Aku akan bayar berapapun jika kau membawaku pergi dari sini", perintah Hinata sedikit berteriak.
"Ba-Baik, Nona!", supir taksi pun mengendarai taksinya menjauh dari kediaman Hyuuga.
Hinata menangis sejadi-jadinya di dalam taksi yang membuat supir taksi sedikit khawatir. Namun dia tetap menyetir atas perintah penumpangnya itu.
Naruto melihat Hinata memasuki taksi dan berniat mengejar dengan motornya. Namun akhirnya dia sadar bahwa dia lupa meletakkan kunci motornya di mana.
"Sial!", teriaknya.
Sakura berdiri di depan pintu menyaksikan Naruto yang sedang panik.
"Naruto. Kita harus bicara", ucapnya dengan nada suara yang tidak kalah paniknya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata terus memandang keluar jendela. Bayangan tentang kejadian yang baru saja dia lihat masih terngiang-ngiang di dalam benaknya. Belum lagi kekesalannya kepada supir taksi yang terus-terusan bertanya kemana tujuannya. Hinata sadar ini sudah sangat larut malam. Pasti supir taksi ini sudah sampai di rumahnya jika saja Hinata tidak masuk ke taksinya dan menyuruhnya untuk berkeliling-keliling dengan taksinya.Namun Hinata tidak tahu kemana harus pergi. Hinata lalu membayangkan 3 orang sahabatnya. Temari, tidak mungkin. Dia pasti sedang berada di rumah sakit sekarang. Dan Hinata tidak mau menambah masalah Temari dengan kedatangannya. Guren, juga tidak mungkin. Dia sudah berjam-jam menyetir satu hari ini. Dia pasti sangat lelah dan sudah terlelap dalam tidurnya. Hinata tidak mau mengganggu istirahatnya Guren.
Sepertinya pilihan tersisa pada Tayuya. Gadis ini terkenal dengan insomnianya. Dan dia juga selalu cuek dengan masalah orang lain. Dia pasti tidak akan bertanya tentang kedatangan Hinata ke rumahnya. Hinata hanya perlu mencari alasan jitu yang mampu mengelabui Tayuya.
"Halo! Ada apa Hinata?", tanya Tayuya begitu dia mengangkat teleponnya.
"Kau sudah tidur Tayuya?" tanya Hinata balik.
"Belum. Aku sedang memasak makan malam. Lapar sekali rasanya setelah perjalanan jauh. Haha!", jawab Tayuya dengan tawa khasnya.
"Mm, aku boleh bermalam di rumahmu tidak? Sepertinya orang-orang di rumahku sudah pada tidur. Tidak ada yang membukakan pintu untukku", Hinata berbohong.
"Tentu saja boleh Hinata. Bagus sekali malah. Ada yang membantuku menghabiskan masakanku. Sepertinya terlalu banyak untuk porsi 1 orang", Tayuya berceloteh ria di teleponnya. Namun Hinata tidak memperhatikan semua yang dikatakan Tayuya. Dia hanya ingin malam ini berakhir dengan cepat.
Sesaat setelah menutup teleponnya, Hinata memberitahukan tujuannya kepada supir taksi yang sudah mulai mengantuk sejak tadi. Dia langsung menyunggingkan senyum begitu tahu perjalanan penumpangnya akan segera berakhir.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Keesokan harinya saat pulang dari rumah Tayuya, Hinata ragu-ragu untuk melangkah masuk ke rumahnya. Tapi ini adalah rumahnya sendiri. Seharusnya Sakura lah yang merasa malu untuk masuk ke rumah ini.Begitu masuk, Hinata hanya punya satu tujuan. Menemuimu salah satu pelayan di rumahnya.
"Anda sudah pulang Hinata-sama?", sapa seorang pelayan yang dihampiri Hinata.
"Ya, baru saja. Aku ingin bertanya. Apa kau tahu jam berapa Naruto pulang tadi malam?", tanya Hinata penuh selidik.
"Tadi malam? Naruto-san sudah pulang sejak sore. Dan sepertinya dia tidak kembali lagi tadi malam", jawab pelayan itu.
Hinata mengernyitkan dahi. "Memangnya kalian ada di mana tadi malam?", Hinata menyadari keabsenan para pelayannya tadi malam di kediaman Hyuuga.
"Err . . . itu", pelayan itu bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan Hinata.
"Jawab saja dengan jujur. Aku tidak akan mengadukannya pada ayah", Hinata meyakinkan pelayannya.
"Kami semua pergi ke pub untuk merayakan ulang tahunnya Juugo. Semua biayanya ditanggung oleh Sakura-sama", jawab pelayan itu dengan yakin.
Terjawablah sudah semua pertanyaan yang membingungkan Hinata. Ini semua sudah direncanakan. Dan rencana itu berhasil karena adanya suatu kebetulan. Kebetulan yang sempurna. Keberangkatan ayahnya ke Hokkaido, Hinata yang bermalam di villa Guren, dan pesta ulang tahun salah satu bodyguard ayahnya -Juugo-.
"Aku sedikit pusing. Aku akan beristirahat di kamar. Jika ayah sudah pulang, tolong katakan padanya ada yang ingin aku bicarakan", kata Hinata seraya beranjak ke kamarnya.
"Baik, Hinata-sama", pelayan itu membungkukkan badannya.
Saat berjalan ke kamarnya, Hinata berpapasan dengan Sakura. Sakura membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Namun Hinata memotongnya dengan membanting pintu kamarnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Hinata-sama. Hiashi-sama menunggu anda di ruangannya", seorang pelayan memanggil Hinata dari luar kamarnya."Ya", sahut Hinata singkat.
Dia telah berpikir dengan matang satu hari ini. Dan dia harap, keputusannya adalah yang terbaik untuk saat ini. Dia juga sudah memikirkan segala macam resiko yang akan dia hadapi saat berbicara dengan ayahnya nanti.
Sakura yang melihat Hinata berdiri di luar ruang kerja Hiashi hanya bisa bergumam 'Tamatlah riwayatku'.
Hinata melangkah masuk ke ruang kerja ayahnya dan duduk di seberangnya. Ayah dan anak ini saling bertatapan. Terlintas keraguan di mata Hinata saat menatap mata dingin ayahnya. Namun dia harus berani seperti seorang Hyuuga sejati. Dia tidak akan menyerah hanya karena masalah ini.
"Apa tujuanmu datang kemari Hinata?", tanya Hiashi datar.
Hinata mengangkat kepalanya dengan mantap. Dia sudah yakin dengan apa yang akan diucapkannya kepada ayahnya.
"Ada hal penting, yang ingin aku bicarakan dengan Ayah", jawab Hinata sama datarnya.
Hiashi memperbaiki posisi duduknya. Dia menganggap orang yang berbicara di hadapannya saat ini bukanlah putrinya. Melainkan seorang pewaris Hyuuga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar