Hinata memang pendiam. Dia jarang membuka mulut duluan untuk mengantarkan sebuah topik. Dia lebih suka memberi pendapat atau menjawab pertanyaan.
"Kamu pasti lelah. Kamu harus banyak istirahat. Kamu juga tidak perlu memaksakan diri untuk mengantar dan menjemputku setiap hari", Hinata menanggapi omongan Naruto.
"Tidak apa. Itu sudah menjadi konsekuensi bagiku. Ini juga bagus agar aku bisa memanajemen waktuku dengan baik. Antara keluarga, sekolah, teman dan pacarku. Buktinya aku masih sanggup kan?", Naruto tersenyum dengan seringai 120 volt-nya.
"Ya, kamu benar. Itu juga yang membuatku sangat kagum padamu Naruto", ucap Hinata.
Bagi banyak orang, semua yang diucapkan Hinata benar-benar tulus dari hati. Dia tidak pernah berbicara kasar pada orang lain. Polos. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan Hinata. Itu sebabnya ucapan Hinata yang terakhir Naruto anggap sebagai sesuatu yang tulus, bukan gombalan belaka.
/^ o^\^o^/^o^\/^ o^\^o^/^o^\
Alunan musik bergema di dalam sebuah pub. Lantai dansa dipenuhi oleh orang-orang yang gila pesta. Atau hanya orang-orang yang ingin menghilangkan kepenatan dari masalah sehari-hari.Tempat ini lebih cocok untuk para kawula muda yang ingin senang-senang dan meluangkan waktu bersama teman-teman. Bukan tempat untuk berbisnis atau membuat proyek kantoran baru. Seperti itulah pendapat Hiashi.
Dia mulai risih duduk di sebuah sofa berwarna merah di dalam ruangan tertutup yang masih terletak di pub yang sama. Bedanya di sini terlihat lebih sepi jika dibandingkan dengan kerumunan manusia di luar. Musik yang bergema pun mampu diredam oleh lapisan tebal dinding ruangan yang juga berwarna merah.
Ruangan yang ditempati oleh Hiashi ini cukup besar. Ada 2 buah sofa panjang dan 1 buah sofa kecil. Serta ada meja yang cukup lebar untuk menampung makanan dan minuman yang tersaji di atas meja. Di ujung ruangan juga terdapat fasilitas karaoke. Beberapa orang terlihat sedang bernyanyi di sana. Seluruh ruangan yang berwarna merah dengan cahaya lampu berwarna kuning membuat pandangan Hiashi menjadi naning. Dia merasa lapar, namun makanan yang ada di atas meja membuatnya mual dan sakit di perutnya.
Hiashi masih ingat betul tujuannya kemari. Memulai proyek baru dengan relasi yang juga teman baiknya. Tapi yang dihadapinya sekarang benar-benar melenceng dari rencana awal. Relasinya itu kini sedang bersenang-senang dengan gadis-gadis pelayan pub yang tiba-tiba saja masuk saat Hiashi sedang presentasi tentang proyek yang akan mereka kerjakan.
'Dasar mesum', pikir Hiashi.
Awalnya Hiashi sempat menolak kedatangan gadis-gadis tersebut. Tapi dia kalah berdebat dengan relasinya yang satu ini. Jiraiya memang terkenal suka hang out dengan gadis-gadis yang seharusnya lebih cocok jadi anaknya. Hiashi hanya bisa mendengus kesal melihatnya.
"Hey Hiashi. Bersenang-senanglah sekali-sekali. Kita ini sama-sama profesional. Kita pasti bisa menyelesaikan proyek itu dengan cepat. Jadi kita pun bisa membicarakannya kapan saja", Jiraiya kini sudah mulai setengah mabuk oleh minuman beralkohol. Belum lagi gombalan gadis-gadis di sekitarnya bikin Jiraiya jadi makin lupa sama presentasi Hiashi.
"Tapi aku ingin itu dimulai sekarang", protes Hiashi. Namun Jiraiya tidak menggubrisnya. Dia makin sibuk dengan gadis-gadis yang menggerubunginya.
Hiashi masih duduk sendirian saat seorang gadis, lagi-lagi mencoba untuk menawarkan minuman dan menemaninya. Karena merasa dirinya paling cantik, pastinya dia tidak akan ditolak seperti teman-temannya yang lain.
"Hiashi-sama, minuman ini paling enak di sini. Kau pasti suka. Ayolah, segelas saja", pujuk gadis itu.
Merasa matanya sudah lelah karena berkali-kali memberikan tatapan membunuh kepada gadis-gadis yang sebelumnya menghampirinya, Hiashi mengalah dan menenggak satu gelas minuman itu. Saat efek alkohol telah mengalir ke syaraf-syarafnya yang lelah, Hiashi merasakan sensasi yang jarang dia dapatkan.
"Lagi", Hiashi menyuruh gadis di sebelahnya untuk menuangkan minuman itu lagi ke gelasnya.
"Wah, Hiashi-sama. Sepertinya kau doyan minum juga", gadis itu tertawa genit.
/^ o^\^o^/^o^\/^ o^\^o^/^o^\
Hinata yang sedari tadi sibuk mengerjakan tugasnya, tidak tahu sudah jam berapa sekarang ini. Sebenarnya dia ingin menunggu ayahnya pulang. Karena itu sudah menjadi kebiasaannya setiap hari. Dia menuntut ayahnya yang gila kerja untuk tetap bisa meluangkan waktu bersamanya."Hah, selesai juga", Hinata mengangkat kedua tangannya ke atas untuk merilekskan tubuhnya.
Jam menunujukkan pukul 01.30.
'Apa!', teriaknya dalam hati.
Sudah jam segini tapi ayahnya belum juga pulang.
'Mungkin ayah sedang lembur. Sebaiknya aku tidur saja dan bertemu dengannya besok pagi', pikir Hinata.
Merapikan semua peralatan belajarnya, Hinata pun berbaring di ranjangnya. Tak sampai 10 menit, dia pun sudah tertidur.
/^ o^\^o^/^o^\/^ o^\^o^/^o^\
Tanpa sadar, Hiashi telah menghabiskan bergelas-gelas minuman beralkohol. Otomatis dia pun mabuk."Hey Hiashi. Kau tidak pulang? Ini sudah lewat tengah malam", Jiraiya mencoba mangajak bicara Hiashi yang sedang mabuk berat.
"Ya. Kau duluan saja. Aku mau ke toilet dulu", jawab Hiashi.
"Kau yakin bisa menyetir dalam keadan mabuk begini?", Jiraiya mulai khawatir.
"Aku tidak mabuk", protes Hiashi.
Jiraiya hanya bisa mendengus. Bagaimana pun Hiashi adalah orang paling keras kepala yang pernah dia temui.
"Baiklah, aku duluan", Jiraiya pamit.
/^ o^\^o^/^o^\/^ o^\^o^/^o^\
"Ini. Uang ini hanya sebagian. Sisanya setelah kalian berhasil melaksanakan tugas kalian. Ingat! Pastikan kejadian ini seakan-akan pencurian. Mengerti?", ucap seorang gadis muda kepada 3 orang pria berwajah sangar di hadapannya."Baik bos. Kami mengerti", sahut mereka sambil memakai topeng hitam pekat yang menutupi wajah mereka.
"Bagus", gadis itu tersenyum penuh kemenangan.
/^ o^\^o^/^o^\/^ o^\^o^/^o^\
Hiashi berjalan menyusuduri koridor ke ruangan parkir dengan terhuyung-huyung.'Ini tidak baik. Aku mabuk berat. Aku tidak mungkin bisa menyetir daam keadaan seperti ini', pikirnya.
Hiashi berniat untuk bermalam di mobilnya dan pulang pagi-pagi sekali saat mabuknya mereda. Dia mengeluarkan kunci mobil dari sakunya saat sebuah benda memukul kepalanya dengan keras.
PLETAK
"Aaahhhh", Hiashi berteriak kesakitan.
Sesaat setelah tersungkur di samping mobilnya, Hiashi mencoba untuk bangkit.
"Kuat juga orang ini", kata salah seorang yang menyerangnya.
Mereka pun mulai melayangkan pukulan dan tendangan lain ke arah Hiashi. Satu orang merogoh-rogoh saku Hiashi untuk mengambil dompetnya.
'Gawat. Aku dirampok. Tapi aku tidak bisa melawan. Andai saja aku tidak mabuk, pasti aku bisa menghajar balik mereka', sesal Hiashi.
Tiba-tiba saja rasa sakit itu berhenti. 'Apa aku sudah mati?', tanya Hiashi dalam hati.
Telinganya yang cukup tajam masih bisa mendengar suara-suara di depannya. Suara erangan kesakitan. Tapi bukan berasal dari mulutnya. Dengan kesadaran yang masih tersisa, Hiashi mencoba membuka matanya. Pandangannya begitu kabur untuk melihat apa yang sedang terjadi di depannya.
Mengucek-ngucek matanya, Hiashi kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Dia melihat seorang gadis, sepertinya masih sangat muda. Dia menghajar penjahat-penjahat yang berusaha merampok dan menghajar Hiashi barusan. Namun dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu.
'Dia pasti jago karate', hanya itu yang ada di benak Hiashi.
Sekarang penjahat-penjahat itu sudah kabur. Tinggalah Hiashi berdua dengan gadis yang menolongnya.
"Kau tidak apa-apa Tuan?", tanya gadis itu ramah.
"Terima kasih", bisik Hiashi. Lalu semuanya menjadi gelap.
/^ o^\^o^/^o^\/^ o^\^o^/^o^\
"Apa? Ayah belum juga pulang?", tanya Hinata pada pelayannya."Iya Hinata-sama. Hiashi-sama juga tidak ada menghubungi. Biasanya jika beliau lembur atau mendadak ke luar kota, beliau pasti memberi kabar", jawab pelayan tersebut.
"Hah. Ya sudahlah. Kalau kamu mau, makan saja sarapan ini. Sayang jika tidak ada yang makan", Hinata bangkit dari kursinya dan menuju pintu depan.
'Ini keterlaluan. Dari pagi ke malam, kini ke pagi lagi tapi masih belum pulang juga', umpatnya dalam hati.
/^ o^\^o^/^o^\/^ o^\^o^/^o^\
"Ah, Tuan. Anda sudah sadar?", tanya seorang suster pada Hiashi."Kenapa aku bisa ada di sini?", tanya Hiashi.
"Anda diantar oleh gadis yang sedang tidur di sofa itu." Mata Hiashi mengikuti arah yang ditunjukkan oleh suster. Di sofa yang tak jauh dari ranjang yang ditempati Hiashi, seorang gadis sedang tertidur.
'Siapa dia? Apa mungkin dia gadis yang menolongku tadi malam?', tanya Hiashi dalam hati.
"Jika Anda mau, Anda sudah bisa pulang hari ini Tuan. Kondisi Anda sudah membaik", jelas suster itu dengan seulas senyuman.
"Ya. Terima kasih suster".
Suster itu keluar dari ruangan. Sesaat kemudian, gadis yang tertidur itu pun bangun. Matanya langsung mengarah ke ranjang di depannya.
"Ah, Tuan. Anda sudah sadar. Apa Anda sudah merasa baikan?", gadis itu meyakinkan.
"Ya. Kata suster jika aku mau, aku sudah bisa pulang hari ini."
"Baguslah kalau begitu. Aku bisa mengantarkanmu pulang. Mengingat tidak ada anggota keluargamu yang datang", jelas gadis itu.
"Siapa namamu?", tanya Hiashi. Sepertinya lancang sekali tidak mengetahui nama orang yang telah banyak menolongmu.
"Sakura. Haruno Sakura", jawabnya ramah sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Hyuga Hiashi", Hiashi memperkenalkan diri sambil meraih tangan Sakura.
Tapi yang anehnya, Hiashi tidak berniat untuk bersalaman. Seperti ingin memegang erat tangan gadis itu dan tak ingin melepaskannya. Selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar