Kamis, 09 Desember 2010

Hinata's Upside Down Life (chapter 3)

"Jadi ini rumahmu Hiashi-sama?", tanya Sakura sesampainya di rumah, atau lebih tepatnya disebut istananya Hiashi.
"Ya. Dan, panggil saja aku Hiashi", tawar Hiashi yang ingin lebih akrab.
"Ah, baiklah", Sakura mengiyakan.
Sakura menyerahkan kunci mobil Hiashi dan berniat untuk beranjak pergi.
"Aku sudah mengantarkanmu sampai rumah. Sebaiknya aku pulang", Sakura pamit.
"Kau tidak ingin mampir dulu Sakura-san?", lagi-lagi Hiashi menawarkan keakraban.
"Kau sudah banyak membantuku dalam beberapa jam terakhir ini. Tidak sopan rasanya jika aku tidak membalasnya, walau hanya sekedar minum teh", jelas Hiashi.
'Minum teh ya', pikir Sakura.
"Aku bisa menyuruh supirku untuk mengantarkanmu pulang nanti", tampaknya Hiashi belum mau membiarkan gadis ini pergi.
"Baiklah", Sakura menerima tawaran Hiashi.
Para pelayan Hiashi terheran-heran melihat kedatangan Hiashi dengan seorang wanita yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Dia tidak pulang tadi malam. Tubuhnya juga terlihat penuh memar seperti bekas pukulan. Dan yang lebih mengherankan, siapa wanita ini? Namun tidak ada satupun dari mereka yang berani untuk melemparkan pertanyaan kepada Hiashi. Mereka hanya menurut saja saat mereka disuruh menyajikan teh hangat olehnya.
"Jadi satu-satunya keluargamu yang tinggal denganmu di rumah semewah ini hanyalah putrimu?", tanya Sakura sesaat setelah teh disajikan.
Hiashi menyeruput tehnya sebelum menjawab pertanyaan Sakura. Kandungan dalam teh yang diminumnya benar-benar memberikan kesegaran setelah minuman alkohol kemarin malam meracuni saraf-sarafnya. Hiashi sudah bisa berpikir dengan jernih sekarang.
"Begitulah. Istri dan putri keduaku telah lama meniggal dunia. Walau aku masih memiliki satu orang putri, namun terkadang aku tetap merasakan kesepian. Itu sebabnya aku ini gila kerja. Aku tidak menyisakan sedikitpun waktuku untuk merasakan kesepian dan memikirkan hal-hal yang tidak berguna", jawabnya panjang lebar.
"Apa kau juga jarang bertemu dengan putrimu?", Sakura menanyakan hal yang lebih personal.
"Aku selalu bertemu dengannya setiap pagi dan saat makan malam. Setelah makan malam aku akan menghabiskan waktu di ruang kerjaku untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sempat aku kerjakan di perusahaan", jelas Hiashi.
"Apa putrimu tidak pernah protes? Sepertinya waktumu bertemu dengannya sangat minim", Sakura semakin penasaran dengan kehidupan pria di hadapannya ini.
"Bagiku itu sudah lebih dari cukup. Lagipula dia sudah bukan anak kecil lagi. Aku tidak perlu terus ada untuk melihat perkembangannya", jawab Hiashi sambil meraih teko untuk menambah lagi teh ke dalam gelasnya.
Sakura bereaksi cepat. "Biar aku saja yang menuangkan". Senyuman tak luput dari wajahnya.
"Terima kasih", ucap Hiashi.
Sebenarnya Hiashi tidak pernah berbicara banyak tentang keluarganya kepada orang asing. Tapi kali ini lain. Dia sama sekali tidak menganggap Sakura adalah orang asing. Justru dia sangat senang dengan kehadiran Sakura secara tiba-tiba di dalam hidupnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Himpunan A dikatakan himpunan bagian dari himpunan B jika dan hanya jika setiap elemen A merupakan elemen dari B".
Suasana kelas yang tenang dan hanya diisi suara seorang guru yang sedang mengajar, tidak membuat Hinata fokus pada penjelasan gurunya. Tangan kanannya memegang pulpen sambil terkadang mencoret-coret buku yang ada di atas mejanya. Tangannya yang satu lagi berada di atas pangkuannya sambil memegang ponselnya. Sesekali dia melihat ke layar ponsel itu. Berharap akan ada telepon atau pesan yang masuk dari ayahnya.
'Kenapa ayah belum menghubungiku sampai sekarang?', pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Sebenarnya apa pekerjaanmu?", tanya Hiashi saat mereka sedang berjalan-jalan di taman yang masih berada di lingkungan rumah mewahnya.
"Aku belum bekerja. 2 minggu yang lalu aku baru menyelesaikan kuliahku di Universitas Tokyo", jawab Sakura yang sedang memandangi kolam ikan koi yang berada di tengah-tengah taman.
"Kalau aku boleh menebak, usiamu sekitar 22 tahun".
"Hmm. Tepat sekali".
"Berarti usiamu hanya berbeda 5 tahun dari putriku".
Kali ini mata mereka bertemu. Dalam pandangan Hiashi, gadis ini jauh lebih cantik dari bunga-bunga yang sedang bermekaran di taman yang selalu ia rawat dengan baik ini. Dia benar-benar seindah bunga Sakura.
Sempurna.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
PRIIT
"3 point", ucap seorang wasit saat Hinata mencetak poin dari titik tengah lapangan.
"Wah, Hinata. Permainanmu baik sekali hari ini", puji Temari di sela-sela latihan basket mingguan mereka.
"Sepertinya begitu. Padahal pikiranku sedang kacau saat ini".
Pernyataan Hinata membuat Temari mengangkat alisnya. "Kau sedang ada masalah?"
"Akan kuceritakan saat latihan selesai", jawab Hinata singkat yang dibalas anggukan oleh Temari.
PRIIT PRIIIT
Peluit panjang menandakan permainan berakhir.
Kedua sahabat itu mengambil tempat untuk duduk di pinggir lapangan. Mereka langsung menenggak air mineral untuk menetralkan cairan tubuh mereka yang telah banyak keluar sebagai keringat.
"Hah . . . sebenarnya ada masalah apa?", tanya Temari saat berjuang menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
"Ayahku tidak pulang tadi malam, dan dia tidak memberikan kabar. Tadi pagi sebelum aku berangkat ke sekolah, dia masih belum pulang juga. Dan sampai detik ini dia masih belum menghubungiku. Aku tidak bisa konsentrasi belajar dan pikiranku benar-benar kacau. Tapi aku heran, kenapa permainan basketku bisa begitu bagus?"
"Mungkin saja kau melampiaskan kekesalanmu ke dalam latihan ini", jawab Temari asal.
"Entahlah. Mungkin saja", jawab Hinata juga asal.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Apa ini?", tanya Sakura saat Hiashi menyerahkan sepucuk Surat Undangan untuknya.
"Akan ada acara perayaan keberhasilan proyek gabungan perusahaan-perusahaan besar besok malam. Aku akan memberikan pidato sebagai perwakilan dari Hyuga Corporation. Aku harap kau bisa hadir sebagai tamu kehormatanku", jelas Hiashi.
"Oh, haha . . . Baiklah, aku akan hadir. Aku kira ini Undangan pesta pernikahanmu", kata Sakura dengan nada sedikit menggoda.
"Tentang itu aku . . . aku belum memikirkannya", ucap Hiashi malu-malu.
Menjadi duda selama 15 tahun dia bukannya belum memikirkan, tapi dia memang tidak pernah memikirkan apakah dia akan menikah lagi atau tidak. Entah apa yang membuat Hiashi mengatakan pada Sakura bahwa dia belum memikirkan tentang pernikahannya.
"Terima kasih untuk tehnya, dan juga undangannya", ucap Sakura sambil melambai-lambaikan undangan yang ada di tangannya.
"Tidak. Seharusnya aku yang berterima kasih banyak padamu", Hiashi membungkukkan badannya.
"Ahh, tidak perlu sungkan seperti itu. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan".
"Supirku akan mengantarkanmu sampai ke rumahmu. Besok malam dia juga akan menjemputmu".
"Ya. Sampai jumpa besok malam", Sakura pamit sambil tersenyum ramah.
Dengan begitu, mobil pun melaju menjauhi rumah mewah Hyuga.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Suasana makan malam begitu hening. Tidak ada satu suara manusiapun yang bergema di ruangan ini. Padahal ada banyak hal yang bisa menjadi pertanyaan dari Hinata untuk ayahnya. Namun tidak ada satupun dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya itu keluar melalui mulutnya.
Hinata selalu seperti ini. Tidak pernah mau memulai pembicaraan, kepada siapapun orangnya. Dia lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Dia lebih suka diberi jawaban tanpa harus bertanya. Tapi yang kedua tentulah sulit. Bagaimana mungkin orang bisa tahu tentang isi hatimu dan rasa ingin tahumu jika kau tidak menanyakannya secara langsung?
Luka memar di tubuh Hiashi juga masih jelas terlihat. Setidaknya Hinata bisa mengambil kesimpulan, bahwa telah terjadi sesuatu di malam saat ayahnya tidak pulang ke rumah. Tapi apa?
Bukan hanya itu. Meskipun diam, sesekali ayahnya mengulas senyuman saat menyantap makan malamnya. Hal ini membuat Hinata mengangkat sebelah alisnya. Hiashi yang selalu berwajah dingin, malam ini terlihat lebih hangat. Entah apa yang sedang dia pikirkan sambil senyum-senyum tidak jelas seperti itu.
"Jangan lupa besok kita harus menghadiri sebuah acara", ucapan ayahnya yang tiba-tiba membuat Hinata hampir tersedak karena kaget bukan kepalang.
"I-Iya", katanya sambil menenggak segelas air.
Hanya itu yang mereka bicarakan saat makan malam. Hiashi tidak menjawab kecemasan Hinata. Dia seperti menganggap tidak ada kejadian apa-apa dan tidak ada yang perlu dijelaskan. Hinata mendesah dan beranjak ke kamarnya. Pekerjaan rumahnya terasa lebih penting dikerjakan daripada menguber-uber ayahnya untuk mendapatkan penjelasan yang berhasil nihil.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sebuah dress vintage selutut berwarna pink pucat membungkus tubuh Hinata. Bahan karet yang ketat dengan sentuhan pita di bagian perutnya membentuk bagian dadanya dengan sempurna. Bagian bawah yang sedikit mengembang memperlihatkan kaki putihnya yang mulus tanpa cacat. Sepatu hak tinggi berwarna sama juga menghiasi kakinya.
Rambut, seperti biasa disanggul dengan poni samping yang sedikit keriting. Urusan make up, Hinata memilih yang natural. Hanya sentuhan eyeliner dan eyeshadow seadanya di bagian mata, blush on tipis di tulang pipi, dan lipgloss berwarna peach untuk bibirnya. Anting-anting berbentuk bintang dengan bandul panjang di bawahnya menambah kecantikan Hinata malam ini. Dewasa, namun tetap imut.
Hinata melihat penampilannya malam ini sekali lagi di depan cermin besar di ruang gantinya.
Sempurna.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata berjalan dengan canggung di belakang ayahnya. Dia memang tidak biasa dengan keramaian seperti ini kecuali di sekolahnya.
"Kau seharusnya belajar berjalan di samping ayah, Hinata. Kau sudah bukan putri kecil ayah lagi. Kau adalah seorang calon pewaris Hyuga", ucapan Hiashi membuat Hinata mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk.
"I-Iya", Hinata mengambil posisi di samping ayahnya.
"Saat ayah memberikan pidato nanti, kau ingin ikut ke samping podium atau menunggu di sini saja?", tanya Hiashi.
"Di sini saja yah", jawab Hinata.
Hiashi mendesah. Dia paham betul sifat putrinya. Ini bukan pertama kalinya Hinata terasa canggung. Tapi di setiap acara yang ramai didatangi orang-orang, dia selalu seperti ini.
"Baiklah". Hiashi tak mampu membujuk putrinya untuk tampil di muka umum.
"Selanjutnya mari kita sambut perwakilan dari Hyuga Corporation", MC mengumumkan giliran Hiashi untuk memberikan pidatonya.
Tepuk tangan bergemuruh di seluruh ruangan saat Hiashi berjalan menuju podium. Hiashi memulai pidatonya saat seorang gadis dengan anggunnya masuk ke dalam ruangan. Hinata yang semula memperhatikan ayahnya tanpa sengaja menangkap sesosok gadis yang dianggapnya sangat menawan.
Gadis itu memakai gaun panjang semata kaki dengan leher berbentuk V. Warna pink magenta gaunnya terlihat lebih hidup dibandingkan dengan dress vintage Hinata yang berwarna pucat. Manik-manik memenuhi bagian depan gaunnya. Bawahan gaun penuh dengan payet-payet yang menyempurnakan keindahan gaun itu.
Yang mengenakannya juga tak kalah cantik. Tubuhnya yang semampai terlihat sempurna dibalik balutan gaun berwarna pink magenta itu. Sepertinya dia menserasikan warna rambut dengan warna gaunnya. Benar-benar matching.
'Cantik', puji Hinata dalam hati.
Tiba-tiba saja Hinata merasa makin minder di pesta ini setelah melihat kedatangan gadis itu. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali memusatkan perhatiannya kepada Hiashi. Dahinya berkerut saat dia melihat ayahnya mengulas senyuman di wajahnya. Seingat Hinata, ayahnya selalu memasang tampang dingin sebelumnya. Bahkan pada saat dia memulai pidatonya.
Arah pandangannya juga seperti tertuju kepada seseorang. Hinata mencoba mengikuti arah pandang ayahnya dan terkejut saat menyadari bahwa yang dipandang oleh ayahnya adalah gadis cantik bergaun magenta yang diperhatikannya barusan.
'Apa ayah benar-benar melihat gadis ini? Dan mungkinkah dia tersenyum kepada gadis ini?', pertanyaan ini berputar-putar di kepala Hinata.
Sesaat dia merasa pusing dan mencoba mencari minuman untuk melegakan tenggorokannya yang kering. Dia tidak memperhatikan isi pidato ayahnya dan riuh tepuk tangan di dalam ruangan yang menandakan pidato Hiashi telah berakhir.
Dia meletakkan gelasnya yang telah kosong di tepi meja dan beranjak kembali ke tempat dia berdiri sebelumnya. Keadaan membuatnya makin pusing. Ayahnya tidak lagi berdiri di podium, dan tidak pula berdiri di posisi mereka sebelumnya. Hinata merasa seperti anak hilang.
"Mari kita sambut perwakilan dari Uchiha Corporation", MC mengumumkan pembicara selanjutnya.
Kali ini ruangan tidak hanya dipenuhi oleh suara tepuk tangan, tapi juga suara jeritan gadis-gadis. Mereka langsung menggerubungi tempat di dekat podium agar bisa melihat dengan jelas keluarga Uchiha yang sedang berkumpul di samping podium. Namun yang menarik perhatian adalah dua pemuda Uchiha yang dikabarkan akan menjadi pewaris Uchiha Corporation di bawah naungan orang tua mereka.
Hinata tidak memperdulikan teriakan gadis-gadis yang mulai menggila. Dia mencoba melawan arus pergerakan manusia-manusia yang mengombang-ambingkan dirinya seperti ombak lautan. Lautan manusia tentunya.
"Permisi, permisi", Hinata mencoba mencari celah untuk berjalan. Dia harus menemukan ayanhnya ssesegera mungkin.
Nihil.
Itulah hasil yang didapat Hinata setelah susah payah keluar dari kerumunan manusia dan berkeliling di seluruh penjuru ruangan yang bisa dilewatinya. Acara telah selesai. Namun Hinata masih belum menemukan ayahnya. Ini kedua kalinya Hinata dibuat cemas oleh Hiashi dalam 3 hari terakhir.
DDRRRRRRTTTTTT DDRRRRRTTTTTTT
Ponsel Hinata bergetar di dalam dompetnya. Layar ponselnya menampilkan sebuah gambar amplop yang menandakan ada pesan masuk. Dan itu adalah pesan dari ayahnya.
Tunggu ayah di mobil.
Ayah akan segera ke sana.
Singkat, padat, dan akurat.
"Haahh", Hinata mendesah dan menuju ke parkiran tempat mobil ayahnya berada.
Kakinya sudah mulai pegal. Sudah hampir setengah jam Hinata menunggu di luar mobil. Dia tidak bisa masuk ke dalam mobil karena kuncinya ada pada ayahnya.
'Lebih baik aku tidak usah ikut tadi', sesalnya.
"Ayo kita pulang", sebuah suara membuyarkan lamunannya.
Lagi-lagi Hinata mengerutkan dahinya. Ayahnya terlihat . . . berantakan. Dasinya yang tadi rapi, kini menggantung dengan malas di kerah bajunya. Rambutnya yang sebelumnya tertata, sekarang terlihat sedikit acak-acakkan. Wangi parfum yang menyeruak di dalam mobil juga sangat berbeda. Wangi parfum wanita. Tapi itu bukanlah milik Hinata. Dia tidak pernah memakai parfum semenyengat ini.
Namun Hinata hanya diam. Dia tidak bertanya ataupun mengeluarkan suara. Dia sudah cukup letih malam ini.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Seminggu setelah pesta berakhir, hari-hari di rumah mewah Hyuga semakin aneh.
Hiashi selalu melewatkan waktu makan malam di rumah. Dia pulang kerja lebih telat dari biasanya. Saat berada di rumah, dia juga sering senyum-senyum sendiri. Benar-benar aneh. Sejak kapan seorang Hyuga Hiashi suka senyum-senyum tidak jelas seperti sekarang ini? Entahlah. Bahkan Hinata sendiri tidak mampu menjawabnya. Dan yang paling mengherankan dari semuanya adalah wangi parfum wanita yang menempel di pakaian Hiashi. Dari manakah wangi itu berasal?
TOK TOK TOK
"Hinata-sama", panggil seseorang dari balik pintu.
"Ya", Hinata menyahut.
"Anda ditunggu Hiashi-sama di ruangannya", orang di balik pintu memberi tahu.
"Baiklah". Hinata meninggalkan buku-buku pelajarannya dan beranjak ke ruangan ayahnya.
'Umm. Kira-kira apa ya yang akan ayah bicarakan padaku? Tentang sekolah, tentang menjadi pewaris Hyuga?', Hinata berdebat dengan pikirannya.
TOK TOK TOK
Hinata mengetuk pintu ruangan kerja ayahnya.
"Masuk", perintah Hiashi dari dalam ruangan.
Hinata membuka pintu ruangan kerja ayahnya. Dia maju dua langkah untuk menutup pintu di belakangnya.
"Duduk", Hiashi menyuruh Hinata untuk duduk di seberangnya.
Ayah dan anak ini dipisahkan oleh meja di hadapan mereka yang penuh dengan kertas-kertas, brosur, dan laptop milik Hiashi.
"Ada yang ingin ayah bicarakan denganmu", Hiashi memulai pembicaraan tanpa membuang-buang waktu.
Aha! Hiashi pasti ingin menjawab semua kebingungan-kebingungan Hinata dalam dua minggu terakhir ini. Hinata memasang wajah serius seperti seorang Hyuga pada umumnya. Dia telah siap mendengarkan seluruh penjelasan ayahnya malam ini.
"Maaf jika selama ini ayah membuatmu cemas dengan perilaku ayah. Ayah juga minta maaf karena jarang menghabiskan waktu bersamamu. Sepertinya kau perlu tahu tentang semuanya mengingat ayah sudah mengambil keputusan yang akan mengubah hidup kita", ucapan Hiashi yang kurang jelas ini membuat Hinata semakin bingung.
"Ayah akan menikah dengan seorang wanita", ucap Hiashi dengan sebuah senyuman terpampang di wajahnya.
'Apa!'
Ingin saja rasanya Hinata berteriak sekuat-sekuatnya saat mendengar pernyataan ayahnya itu.
"De-Dengan siapa?", tanya Hinata sedikit ragu.
Hiashi menarik nafas dalam-dalam sebelum bercerita panjang lebar tentnag wanita yang akan dinikahinya itu kepada Hinata. Mulai saat pertama mereka bertemu, dan bagaimana akhirnya Hiashi menjadi begitu yakin ingin menikahi wanita itu.
Menurut Hinata, ayahnya memiliki niat yang tulus. Tapi bagaimana dengan wanita itu? Yang Hinata tangkap dari cerita ayahnya adalah, wanita itu hanya berbeda 5 tahun darinya. Dia masih sangat muda. Wanita itu lebih cocok jadi kakak perempuannya daripada menjadi ibu tirinya.
"Ayah menyuruhmu kemari untuk membantu ayah menentukan banyak hal", lanjut Hiashi.
Melihat ke atas meja ayahnya, Hinata sudah mengerti apa yang ayahnya inginkan. Gaun pengantin, tema resepsi pernikahan, dan bulan madu yang berkesan. Sepertinya Hiashi sudah membelikan cincin pernikahan untuk calon istrinya. Buktinya Hiashi tidak meminta pendapat Hinata tentang hal itu.
"Eropa?", tanya Hinata.
"Ya. Dia ingin bulan madu keliling Eropa", jawab Hiashi santai.
Hinata semakin tak yakin. Apa benar wanita ini menikahi ayahnya karena cinta? Namun Hinata langsung membuang jauh-jauh pikiran itu.
'Dia masih sangat muda. Aku rasa wajar jika dia ingin pernikahannya menjadi berkesan', Hinata berpikiran positif.
"Pastikan besok kau tidak memiliki acara. Karena ayah akan mengenalkan calon ibu tirimu besok", ucap Hiashi yang dibalas anggukan pelan oleh Hinata.
Mungkin benar kata Hiashi. Pernikahannya akan mengubah hidupnya dan Hinata di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar