Jumat, 17 Desember 2010

Hinata's Upside Down Life (chapter 5)

"Hinata, kau mau kemana? Kau sedang tidak enak badan dan ingin cepat pulang ya? Kalau begitu biar aku mengantarmu pulang", Naruto menyapa Hinata saat dia melihat Hinata membawa tas di jam pelajaran dan tidak berada di kelas.
"Bukan urusanmu", Hinata menjawab pelan.
"Hinata. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan . . .", Naruto mencoba memberi penjelasan yang langsung dipotong oleh Hinata.
"Semua sudah berakhir Naruto".
Dengan itu, Hinata melangkah ke arah kantor kepala sekolah dan meninggalkan Naruto yang hanya berdiam terpaku di tempat Hinata mengucapkan kata berakhir untuknya.
Temari yang tak sengaja menangkap sosok sahabatnya yang sepertinya sedang bertengkar dengan Naruto, merasa tidak sabar agar bel pulang cepat berbunyi dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Temari", Guren berbisik memanggil Temari yang masih memusatkan pandangannya ke luar jendela.
Temari kemudian mengalihkan pandangannya kepada Guren dan memberi isyarat seakan bertanya 'Ada apa?'.
"Kenapa Hinata tidak masuk ya hari ini?", tanya Guren dengan suara yang masih sangat pelan.
"Barusan aku melihatnya ada di dekat kantor kepala sekolah. Aku sendiri juga heran kenapa dia tidak masuk kelas. Dan sepertinya dia sedang bertengkar dengan Naruto", jawab Temari dengan suara yang sama pelannya.
Apapun yang terjadi, tak ada satu pun dari mereka yang berkonsentrasi terhadap pelajaran hari ini.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kenapa kau ingin bertemu dengan kami di sini? Dan kenapa tadi kau tidak masuk kelas?", tanya Temari tak sabaran begitu bertemu Hinata di dekat taman sekolah setelah bel pulang berbunyi.
Hinata mulai membuka mulut untuk bicara saat Naruto menghampiri Temari dan yang lain. Sepertinya dia tidak ingin ketinggalan apa yang akan disampaikan Hinata kepada sahabat-sahabatnya. Awalnya Hinata ingin mengurungkan niatnya untuk berbicara, namun dia tidak ingin pergi tanpa memberitahukan teman-temannya terlebih dahulu.
"Mulai besok, aku akan pindah sekolah dan pindah tempat tinggal", Hinata akhirnya memulai salam perpisahannya.
Kata-kata Hinata kontan membuat semua lawan bicaranya kaget. Kenapa tiba-tiba saja Hinata memilih untuk pindah sekolah. Pindah tempat tinggal pula.
"Memangnya ada masalah apa Hinata?", tanya Guren.
"Tidak ada masalah apa-apa", Hinata menjawab datar.
"Kalau tidak ada masalah kenapa harus pindah?", tanya Tayuya yang semakin bingung.
Belum sempat Hinata menjawab, muncul pertanyaan lain yang membuatnya terhenyak.
"Lalu bagaimana hubunganmu dengan Naruto?", tanya Temari yang sedari tadi sudah merasa ada yang tidak beres dengan mereka berdua.
"Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya", jawab Hinata dengan mantap.
Mereka bertiga semakin terkejut dengan pernyataan Hinata, kecuali Naruto.
"Sebenarnya ada masalah apa antara kau dan Naruto? Kenapa harus putus?", tanya Guren.
"Huff. Sudah ku bilang tidak ada masalah apa-apa". Hinata tidak kuat lagi. Jika dia terus berada di situ, dia pasti akan menangis.
Hinata membalikkan badannya dan mulai melangkah meninggalkan teman-teman dan mantan pacarnya. Naruto sama sekali tak sanggup berkata-kata. Dia hanya diam.
"Kau tidak punya perasaan Hinata! Kenapa kau minta putus jika tidak ada masalah. Apa kau tidak sadar bahwa tindakanmu bisa membuat Naruto sedih?", Temari membentak Hinata.
Hinata menghentikan langkahnya namun tidak membalikkan badannya. "Itu bukan urusan kalian". Hinata pun melanjutkan langkahnya.
Setelah Hinata pergi, mereka berempat hanya tenggelam dalam diam. Bagaimana mungkin seorang gadis manis yang ramah seperti Hinata, bisa bertindak sedingin itu. Dan satu hal lagi, Hinata bahkan tidak memberitahu mereka kemana dia akan pindah.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kau terlambat", ucap Naruto.
"Maaf. Aku harus menyiapkan dulu segala kebutuhan Hiashi, baru aku bisa menemuimu", jelas Sakura santai.
"Aku mohon hentikan ini semua Sakura", pinta Naruto yang sedikit kesal saat Sakura menyebut nama suaminya.
"Apa katamu? Aku tidak akan berhenti di tengah jalan", tegas Sakura.
"Kenapa kau harus melakukan semua ini?", tanya Naruto.
"Aku rasa semuanya sudah pernah ku jelaskan padamu. Aku akan membahagiakan ibuku yang telah menjadi single parent selama 7 tahun dengan cara apapun", jawab Sakura.
"Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini? Kau bahkan tidak mencintai laki-laki itu Sakura. Kenapa kau tidak pernah memandangku? Aku . . . aku yang selalu mencintaimu", nada bicara Naruto meninggi.
"Memangnya apa yang bisa kau berikan untukku selain hatimu?", tanya Sakura sedikit menantang.
Naruto terdiam. Sakura benar. Apa yang bisa dia berikan untuk Sakura selain hatinya. Dia bahkan masih seorang pelajar yang belum mampu mencari uang sendiri.
"Bagaimanapun, aku melakukan ini dengan mengorbankan kebahagiaanku", lanjut Sakura.
"Mengorbankan kebahagiaanmu? Aku rasa kebahagiaan Hinata yang lebih tepat", Naruto menyela ucapan Sakura.
"Haha! Sejak kapan kau peduli dengan Nona Hyuuga yang manja itu?", giliran Sakura bertanya.
"Hinata itu gadis yang baik. Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini, aku pasti sudah mengurungkan niat untuk membantumu", jawab Naruto.
"Jadi kau menyesal telah membantuku? Percuma saja Naruto. Semuanya sudah terlambat. Dan kutegaskan sekali lagi, aku tidak akan menyerah", kali ini suara Sakura juga ikut meninggi.
Naruto kemudian teringat kejadian saat Hinata memergoki dirinya dengan Sakura malam itu.
"Apa Hiashi-san tidak tahu tentang kejadian malam itu?", tanya Naruto cemas.
"Kau harus berterima kasih kepada pacarmu Naruto. Dia sama sekali tidak mengadukan kita. Aku benar-benar terkejut ketika tahu tentang hal itu", jawab Sakura yang sudah kembali tenang.
"Lalu kenapa dia pindah?", Naruto kembali bertanya.
"Tradisi Hyuuga. Para calon pewaris akan hidup jauh dari keluarganya sebelum mereka menjadi pewaris yang sah. Aku saja baru tahu tentang hal itu saat Hiashi membicarakan tentang rencana Hinata padaku", jawab Sakura santai.
"Pantas saja kau begitu santai. Kau benar-benar memanfaatkan kepolosan Hinata", ucap Naruto.
"Aku tidak memanfaatkannya. Dia sendiri yang mengambil keputusan. Dan percayalah Naruto. Ini adalah keputusan yang menguntungkan bagi kita berdua", jelas Sakura.
"Terserah padamu!". Naruto beranjak dari tempatnya.
Sakura juga tidak membuang-buang waktu untuk segera kembali ke kediaman Hyuuga. Dia sama sekali tidak merekap ulang pembicaraannya dengan Naruto.
Dia tidak peduli.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata sampai di tempat tinggal barunya. Sebuah flat sederhana yang sangat jauh berbeda dari kediaman Hyuuga. Tapi baginya ini sudah lebih dari cukup. Sebab dia hanya tinggal sendiri. Dia tidak membutuhkan tempat tinggal yang luas. Flat ini juga dekat dengan sekolah barunya. Paling dia hanya menghabiskan waktu 15 menit berjalan kaki ke sekolahnya.
Setelah beberapa pelayan yang ikut mengantarnya membantu merapikan tempat tinggal barunya, mereka langsung pulang atas perintah Hinata. Dia sangat lelah, dan dia ingin istirahat. Karena besok, adalah hari pertama di sekolah barunya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Ini adalah awal yang baru. Dia tidak boleh terperangkap dalam masalah itu terus-terusan. Dia harus bangkit. Dan menurutnya, keputusannya untuk menjauh dari kediaman Hyuuga dan sekolah lamanya adalah yang paling tepat untuk saat ini. Dia harus mencari teman baru, suasana baru, dan mungkin kisah asmara baru.
Scratch it!
Hinata mencoret kata-kata terakhir di pikirannya. Sepertinya dia belum siap untuk memulai hubungan baru dengan seorang cowok. Bisa dibilang masih trauma dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi ya sudahlah. Sekarang saatnya berangkat ke sekolah.
Seragam sekolah barunya tidak jauh beda dengan seragamnya yang dulu. Warna yang dulu biru tua sekarang berwarna hitam pekat untuk blazernya. Kemeja masih putih seperti biasa dengan dasi berbentuk pita. Roknya juga hitam dengan garis-garis berwarna hijau tua. Rambut? Masih dengan style seperti biasa walau dia sudah jauh dengan ayahnya. Sepertinya Hinata enggan menggerai rambutnya.
Sepi sekali sarapan sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Jika sarapan semeja dengan orang-orang di kediaman Hyuuga, yang ada makanan dalam perutnya tidak tercerna dengan baik karena pasti akan keluar lagi.
"Yosh. Gambatte!", ucap Hinata sebelum melangkah keluar meninggalkan flatnya. Ini adalah hari yang cerah untuk berjalan kaki menuju ke sekolah.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Seorang pemuda berlari-lari di sekitar koridor sekolah. Nafasnya yang ngos-ngosan tak membuatnya berhenti berlari. Seperti orang yang sedang dikejar setan atau mungkin segerombolan orang. Dia kemudian bersandar di salah satu dinding di ujung koridor. Dia merasa lega karena sudah terbebas dari siswi-siswi yang sedari tadi mengejar-ngejarnya. Sampai seorang siswi menyapanya dengan ramah.
"A-Ano . . .", kata gadis itu.
'Sial! Kenapa mereka banyak sekali?', pikir pemuda itu.
"Apa aku boleh bertanya di mana ruangan kepala sekolah?", tanya gadis itu lembut.
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya. 'Siswi baru ya', pikirnya.
Pemuda itu kemudian berdiri tegak dan memberitahukan arah yang ingin dituju siswi baru itu.
"Arigatou", ucap siswi baru itu sambil membungkuk dan kemudian berlalu.
Pemuda itu hanya tersenyum melihat gadis yang baru saja ditemuinya. Setidaknya gadis itu tidak menguber-ubernya seperti gadis-gadis yang lain. Dan tiba-tiba . . .
"Kyaaaaaaaa, Uchiha-kuuuuuuuun!".
Sepertinya perjuangan pemuda itu untuk menghindari gadis-gadis ini belumlah berakhir.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Nama saya Hyuuga Hinata. Senang berkenalan dengan Anda", Hinata memperkenalkan dirinya dengan sedikit membungkuk di kelas barunya. Salah satu tata krama yang dia pelajari di keluarga Hyuuga.
"Ini adalah teman baru kalian. Dia siswi baru di sekolah ini. Aku harap kalian bisa membantunya di kelas ini. Silakan duduk di sebelah gadis bercepol dua di dekat jendela sana", Orochimaru menunjukkan tempat duduk Hinata.
"Arigatou Sensei", ucap Hinata sebelum melangkah ke tempat duduknya.
Gadis bercepol dua yang menjadi teman sebangkunya langsung memberikan senyuman hangat begitu Hinata duduk di bangkunya.
"Hai! Perkenalkan, namaku Tenten", ucapnya seraya melambaikan tangannya pelan.
"Hinata", balas Hinata ramah.
Sekolah baru ternyata tidak terlalu buruk. Ini benar-benar awal yang bagus. Dia sudah mendapatkan teman di hari pertamanya. Namun Hinata tidak memperhatikan ke seisi kelas untuk melihat siapa-siapa saja yang menjadi teman sekelasnya. Dia sedang fokus memperhatikan pelajaran kimia yang dijelaskan oleh Orochimaru-sensei.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Pada saat istirahat pertama.
Dua orang pemuda sedang jalan berdua menuju ke arah kantin. Setiap mereka melangkahkan kakinya, siswi-siswi di sekitar mereka pada teriak-teriak tidak jelas. Seperti melihat super model atau super star yang sedang manggung.
"Uchiha-kuuuuuuuuuuuuuuuuuuun!".
Rasanya ingin saja ngebekep mulut mereka dengan karet ban supaya tidak berisik. Tapi kedua pemuda itu hanya melanjutkan langkah mereka tanpa menghiraukan gadis-gadis yang berteriak memanggil-manggil nama klan mereka. Dengan embel-embel 'kun' pula. Sok akrab.
Suasana di kantin selalu ramai pada saat seperti ini. Tentu saja. Memangnya mau di mana lagi mencari makanan kalau bukan di sini.
"Hey, Hinata. Kau suka tiramisu tidak?", tanya Tenten saat sedang memilih-milih makanan yang akan dibelinya.
"Mm. Lumayan", jawab Hinata.
Mereka tidak sadar dengan kehadiran dua pemuda di belakang mereka yang sedari tadi mencoba menghindari kerumunan gadis-gadis yang berkumpul untuk memberikan makanan kepada mereka dan . . .
BAAAAMMMM
"Kyaaaaaaaaa. Apa yang kau lakukan?", teriak seorang gadis berambut merah berkacamata kepada dua siswi yang masih melongo dan belum mampu mencerna apa yang sedang terjadi.
"Tidak perlu histeris seperti itu", ucap seorang pemuda yang menjadi korban dari keributan yang baru saja terjadi.
Sontak seluruh kantin menjadi hening saat mendengar ucapan pemuda itu. Hinata dan Tenten akhirnya menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka tidak sengaja menabrak salah satu dari dua pemuda Uchiha di hadapan mereka. Yang menjadi kasus di sini bukanlah itu. Tapi tiramisu milik Tenten yang mendarat dengan mulus di kemeja pemuda Uchiha itu.
"Dasar kau ini! Lihat apa yang kau lakukan! Kau membuat kemeja Sai-kun menjadi kotor!", lagi-lagi gadis berambut merah itu teriak sambil mendorong Tenten hingga dia terjatuh.
Hinata yang melihat temannya diperlakukan seperti itu tidak bisa tinggal diam. Kenapa dia yang harus sewot? Padahal bukan kemejanya yang kotor akibat tiramisunya Tenten.
"Kau ini yang apa-apaan!", ucap Hinata sambil mendorong gadis berambut merah itu.
Giliran gadis berambut merah itu yang melongo setelah mundur beberapa langkah akibat dorongan dari Hinata. Suasana di dalam kantin semakin hening. Tidak ada satu orang pun yang bersuara kecuali Hinata yang membantu Tenten untuk berdiri. Dan sebelum melangkah keluar dari kantin, dia ingat satu hal.
"Oh ya! Kau orang yang di koridor tadi pagi kan? Ini. Bersihkan kemejamu dengan ini", kata Hinata sambil menyodorkan selembar sapu tangan kepada pemuda yang bernama Sai itu.
Sai mengambil sapu tangan milik Hinata dan langsung membersihkan kemejanya seperti yang dikatakan oleh Hinata. Belum sempat Sai mengucapkan sesuatu, Hinata dan Tenten sudah berjalan keluar kantin dan meninggalkan suasana yang jarang terjadi di dalam kantin. Kegiatan di kantin kembali normal setelah dua pemuda Uchiha itu juga meninggalkan kantin. Entah kemana tujuan mereka selanjutnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kau seharusnya tidak perlu melakukan itu Hinata", kata Tenten saat mereka keluar dari kantin dan menuju ke kelas.
Hinata hanya mengernyitkan dahi. Dan Tenten tahu bahwa Hinata sedang bingung dengan ucapannya. Dia pun mulai menjelaskan apa yang ingin diketahui Hinata.
"Gadis berambut merah dan memakai kacamata tadi bernama Karin. Dia adalah siswi yang paling berpengaruh di sekolah ini. Tidak ada yang berani cari masalah dengan dia. Dan kau, baru saja mencari masalah dengannya Hinata", jelas Tenten yang membuat Hinata malah semakin bingung.
"Bukannya dia duluan yang mencari masalah denganmu? Lagipula mengapa dia melakukan hal itu kepadamu? Padahal kau kan tidak salah apa-apa padanya", tanya Hinata yang membutuhkan penjelasan lebih rinci dari Tenten.
"Memang seperti itu. Dia dan teman-temannya adalah 'Uchiha Safer'. Mencari masalah dengan Uchiha, berarti mencari masalah dengannya. Kau sudah tahu belum kalau pemilik sekolah ini adalah Uchiha?", Tenten bertanya balik.
"Uchiha? Sepertinya aku pernah dengar nama itu sebelumnya", kata Hinata.
"Mereka itu sangat terkenal di sekolah ini. Bukan hanya karena mereka adalah cucu dari pemilik sekolah, tapi juga karena ketampanan mereka. Yang kita tabrak tadi bernama Sai. Dan yang satu lagi bernama Sasuke. Setiap mereka muncul, pasti gadis-gadis langsung berteriak-teriak memanggil nama mereka", Tenten menjelaskan dengan panjang lebar.
Dari semua penjelasan Tenten barusan, hanya satu petunjuk yang mengingatkan Hinata dengan nama Uchiha. Jeritan gadis-gadis.
"Aku ingat! Uchiha adalah salah satu relasi Hyuuga", Hinata ingat dengan pesta di mana dia bertemu Sakura pertama kali. Wajahnya langsung berubah begitu mengingat kejadian itu.
"Apa kau juga tidak tahu kalau mereka itu sekelas dengan kita?", tanya Tenten lagi.
"Haa?", Hinata terkejut mendengar pertanyaan Tenten yang terakhir.
Sungguh suatu kebetulan.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Ok class. Saatnya maju satu persatu ke depan untuk mempresentasikan tentang tugas kalian minggu lalu. Mendeskripsikan 'What is Boy?' bagi siswi dan 'What is Girl?' bagi siswa", jelas Kakashi saat memulai pelajaran Bahasa Inggrisnya.
"Ms. Hyuuga", panggilnya.
Hinata langsung sadar dari lamunannya yang sedari tadi terkagum-kagum melihat Kakashi-sensei. Tidak pernah ada guru setampan ini di sekolahnya yang dulu.
"Ya Sensei", sahut Hinata.
"Mengingat kamu adalah siswi baru, kamu mendapat dispensasi tidak ikut presentasi. Karena kamu belum memiliki persiapan", jelas Kakashi.
"Tidak apa-apa Sensei. Saya akan maju seperti yang lain", sela Hinata dengan percaya diri. Bagaimanapun kemampuan Bahasa Inggris Hinata tidak bisa disepelekan.
"Baiklah kalau begitu. Saya akan memanggil namamu di urutan terakhir. Supaya kamu bisa memiliki persiapan", Kakashi memberi solusi.
"Baik Sensei", balas Hinata semangat. Dia membuka buku catatannya untuk menuliskan sesuatu di sana. Deskripsi 'What is Boy?' tentunya.
Kakashi mulai memanggil nama siswa siswinya satu persatu. Baginya, meskipun Bahasa Inggris siswa siswinya sudah bagus, namun tidak ada deskripsi yang menarik dari apa yang mereka katakan.
"Uchiha Sai", panggilnya.
Hinata mengangkat kepalanya untuk melihat Sai maju ke depan dan memberikan deskripsinya. Entah kenapa Hinata berpikir bahwa dia bisa berteman baik dengan pemuda ini.
"Uchiha Sasuke".
Hinata memperhatikan dengan jelas orang yang sedang berjalan ke depan kelas ini. Meskipun dia dan Sai memiliki nama klan yang sama, namun mereka terlihat sangat berbeda. Aura Sasuke terlihat lebih mempesona dibandingkan dengan Sai. Jujur. Hinata belum pernah bertemu dengan pemuda setampan ini sebelumnya. Namun kekagumannya terhadap Sasuke luntur saat mendengar deskripsi yang diberikan oleh Sasuke.
"Girls are annoying", ucap Sasuke datar.
Hinata melongo. Tapi tidak dengan siswi yang lain. Mereka malah merasa bahwa Sasuke benar-benar 'Cool'. Hinata merasa kesal. Berani sekali dia mengatakan hal seperti itu. Hinata menutup buku di depannya dan melupakan semua deskripsi yang sudah dia hafal.
"Hyuuga Hinata", Kakashi memanggil namanya.
Hinata maju ke depan kelas dengan rasa kesal di dalam dadanya. Kakashi memberi sebuah anggukan yang menandakan Hinata sudah bisa mempresentasikan deskripsinya. Hinata menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah kalimat dari mulutnya.
"Boys are . . . troublesome", ucapnya.
Satu kelas melongo mendengar deskripsi Hinata.
Kakashi mengangkat sebelah alisnya. 'Menarik', pikirnya.
Hinata kembali ke tempat duduknya dengan menuai perhatian dari teman-teman sekelasnya. Hinata sweatdrop. Dia benar-benar tidak terbiasa diperhatikan oleh orang sebanyak ini.
"Finish!", kata Kakashi yang berhasil mengembalikan fokus seluruh siswanya kepada dirinya.
"Kelas selesai di sini. Tidak ada tugas untuk minggu depan, kecuali untuk Ms. Hyuuga dan Mr. Uchiha Sasuke", ucap Kakashi.
Hinata yang sedang sweatdrop dan Sasuke yang sedang bosan mendelik saat nama mereka disebut.
"Kalian berdua saya berikan tugas untuk mencari deskripsi lagi. Ms. Hyuuga mencari tahu tentang Mr. Uchiha Sasuke, dan begitu juga sebaliknya. At least, 20 numbers in English", Kakashi menegaskan tugas yang diberikannya khusus untuk Hinata dan Sasuke.
"Understand?", tanya Kakashi saat Hinata dan Sasuke tidak memberikan komentar.
"Tch", Sasuke hanya mendecak.
Hinata yang tambah sweatdrop cuma bisa mengangguk pelan.
"Good. So, class dismissed!", Kakashi mengakhiri pelajarannya tepat saat bel istirahat kedua berbunyi.
Hinata mengeluarkan sebuah notebook dari tasnya. Ini bukanlah tugas yang gampang. Dia bahkan bingung darimana harus memulai mengerjakan tugas pertamanya. Hinata menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Sasuke. Hinata terkejut. Ternyata Sasuke sedang memandangnya dengan tatapan dingin. Sangat dingin sehingga membuat Hinata bergidik ngeri. Mata dingin yang jauh berbeda dengan milik ayahnya. Hinata memalingkan wajahnya dan hanya bisa berpikir tentang satu hal.
Ini akan menjadi tugas yang sulit untuk diselesaikan.

Selasa, 14 Desember 2010

Hinata's Upside Down Life (chapter 4)

"ooooaaahhhh", Hinata menguap sambil menepuk-nepuk mulutnya.
Sudah sejam lebih dia menunggu kedatangan calon ibu barunya di kediaman Hyuuga. Sepi, hening, tenang. Hanya detak jarum jam yang mendominasi suara di dalam ruangan yang ditempatinya sekarang ini. Ruangan ini adalah ruangan yang dipergunakan untuk acara-acara resmi, acara kelurga, ataupun rapat penting Hiashi dengan relasinya.
"Apa perlu bertemu di ruangan ini? Lagian kenapa mereka lama sekali? Kalau tahu mereka akan telat begini, lebih baik aku bangun lama-lama saja", gerutu Hinata.
Dia memang kurang tidur tadi malam. Hiashi memaksa matanya untuk tetap terbuka mengingat Hiashi membutuhkan bantuannya mengenai pernikahan yang akan digelar kurang dari waktu seminggu. Anehnya Hiashi yang tidak tidur sama sekali, justru terlihat sangat segar tanpa kantuk hari ini.
"Terlalu terburu-buru. Sepertinya ayah begitu senang dengan wanita ini. Sampai-sampai dia ingin memiliki wanita itu secepatnya. Hah, lihat saja senyum itu. Aku penasaran wanita seperti apa yang bisa membuat pria sedingin Hyuuga Hiashi tersenyum sehangat itu?", Hinata menggerutu lagi.
Untung saja tidak ada orang di dekat ruangan pada saat itu. Jika ada, pasti Hinata sudah dicap gila karena mengoceh sendiri sejak tadi.
"Haaaaahh", lagi-lagi Hinata menghembuskan nafas panjang. Setiap orang pasti setuju jika menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan.
Sebenarnya suara mesin mobil Hiashi sudah kedengaran di luar. Pelayan juga sudah membukakan pintu untuk Hiashi dan wanita yang sedang digandengnya. Tapi Hinata tidak menyadarinya sebab dia dalam keadaan setengah tidur. Saat Hinata sudah mulai terlelap, terdengar suara derapan kaki di luar ruangan yang membuat Hinata terlonjak dari kursinya.
Ya Tuhan. Pasti tampangnya terlihat berantakan saat ini. Tapi Hinata harus tetap terlihat elegan seperti Hyuuga kebanyakan.
'Huff. Hampir saja aku ketiduran', gumamnya dalam hati.
Hinata mengambil posisi tidak jauh dari pintu ruangan. Melalui pintu ini, akan masuk seseorang yang akan berpengaruh besar dalam kehidupan Hinata dan ayahnya. Pintu ruangan dibukakan oleh dua orang pelayan Hyuuga yang berpakaian rapi. Seperti mempersilakan Raja dan Ratu untuk duduk di singgasana mereka, Hiashi dan calon istrinya memasuki ruangan yang sedari tadi menjadi saksi gerutuan Hinata.
Hinata tersentak, matanya membelalak. 'Wanita ini . . .', dia mulai mengingat-ingat. 'Wanita yang ada di pesta kemarin. Yang memakai gaun berwarna magenta'. Hinata masih mengingat dengan jelas rupa wanita yang sekarang berdiri tepat di hadapannya.
"Hinata", Hiashi memecah keheningan yang sempat tercipta saat mereka masuk.
"Perkenalkan. Ini calon ibumu", Hiashi memperkenalkan calon istrinya kepada putrinya.
"Hai. Perkenalkan, namaku Haruno Sakura".
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Hey, Temari. Hinata tidak datang ya?", tanya Guren saat dirinya, Temari, dan Tayuya sedang berkumpul di rumahnya. Setiap hari minggu, mereka pasti berkunjung ke rumah sahabat mereka. Dan minggu ini adalah giliran rumahnya Guren yang dikunjungi.
"Sepertinya tidak. Aku rasa dia akan bertemu calon ibu tirinya hari ini", jawab Temari.
"Oh ya! Kemarin kan Hinata cerita kalau ayahnya akan menikah lagi. Kira-kira dengan siapa ya? Kita lihat ke rumahnya yuk!" ajak Tayuya.
"Jangan! Berikan waktu kepada Hinata untuk lebih mengenal ibu barunya. Setelah ayahnya menikah, kita kan tetap bisa melihat ibu barunya Hinata", Temari melarang.
"Aku kurang yakin kalau mereka bisa dekat seperti ibu dan anak pada umumnya. Kalian tahu sendiri kan bagaimana sifatnya Hinata. Dia lebih banyak diam. Bahkan dengan kita yang sahabatnya pun dia tidak begitu terbuka", Guren menimpali.
"Kau benar juga. Jika ada masalah dengan Naruto saja dia tidak pernah mau cerita. Aku tidak percaya kalau mereka sama sekali tidak pernah bertengkar", Tayuya mengiyakan.
"Yahh, semoga saja Hinata bisa dekat dengan ibu barunya. Dia pasti sudah lupa bagaimana rasanya punya ibu sejak dia berusia 5 tahun", ucap Temari.
"Semoga saja", ucap Guren dan Tayuya serentak.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata terlihat sibuk di kamarnya. Dengan pakaian seperti ini, dia harus menyesuaikan pergerakannya. Jika bergerak terlalu cepat, dia akan berkeringat. Tidak hanya itu. Dress putih yang dipakainya bisa jadi kusut atau kotor. Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Sebab dia akan menjadi pengiring pengantin wanita hari ini.
Belum lagi ide bulan madu keliling Eropa. Sebenarnya Hinata tidak ingin ikut. Tapi saat dia mencoba mengingat kapan terakhir kali dia berlibur bersama ayahnya, Hinata berubah pikiran. Itu sudah lama sekali dan dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk berlibur lagi bersama ayahnya, dan juga ibu barunya.
Sialnya, perjalanan akan dimulai setelah resepsi selesai. Itu artinya mereka akan berangkat malam ini juga. Itu sebabnya Hinata berkemas-kemas sebelum resepsi dimulai.
"Huff, selesai juga", Hinata lega.
"Hinata-sama. Resepsi akan segera dimulai. Sakura-sama telah menunggu anda di ruangannya", ucap salah seorang pelayan.
"Baik. Aku ke sana sekarang", Hinata beranjak dari kamarnya menuju ruangan Sakura.
"Aku sudah tidak sabar Hinata", kata Sakura saat dia menyadari keberadaan Hinata di ruangannya.
Hinata mengambil keranjang berisi bunga yang akan dibawanya saat mengiringi Sakura. "Sebentar lagi Sakura-san".
"Aku harap kau memanggilku ibu saat resepsi ini selesai", pinta Sakura.
"Apa anda benar-benar ingin dipanggil ibu? Menurutku anda terlalu muda untuk panggilan itu. Sepertinya lebih cocok jika aku memanggilmu Onee-chan", timpal Hinata.
Sakura tertawa. "Aku adalah istri ayahmu. Itu artinya kau memanggilku dengan sebutan ibu".
Hinata hanya diam. Dia masih belum terbiasa berada di dekat Sakura. Baginya ini masih terasa asing.
"Sudah waktunya", seorang pelayan mengisyaratkan bahwa resepsi akan segera dimulai.
Hinata membantu Sakura berjalan dengan gaun pengantinnya menuju ke luar ruangan. Saat Sakura melangkah di karpet merah dengan diikuti Hinata, semua mata tertuju kepada mereka. Tapi itu hanya sesaat. Begitu pengantin wanita semakin mendekati altar, hanya Sakura yang menjadi pusat perhatian seluruh tamu undangan.
Ini bukan karena Hinata tidak cantik. Dia sangat cantik malah. Tapi bagaimanapun di dalam sebuah resepsi pernikahan, kedua pasang pengantinlah yang mendapat perhatian paling banyak.
Minder.
Tentu itu dirasakan Hinata. Dia ingin ini semua cepat selesai. Sebelum dia merasa pusing dan berakhir dengan pingsan. Sepertinya keinginan Hinata terkabul. Karena pengantin wanita sudah tidak sabar untuk berbulan madu bersama suami barunya. Err, tak lupa pula anak tirinya tentunya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Kenapa tampangmu masam begitu Naruto?", tanya Shikamaru yang sedang membantu Naruto memperbaiki motornya.
"Kau sudah dengar kan, kalau ayahnya Hinata menikah tadi pagi? Saat ini mereka sedang berangkat ke Eropa sebagai sebuah keluarga baru", kata Naruto sambil mengecek kecakraman rem motornya.
"Liburan?", Shikamaru mencoba menebak.
"Entahlah. Yang pasti ayah Hinata dan istrinya sedang bulan madu", jawab Naruto malas.
"Berapa lama?", tanya Shikamaru yang makin penasaran.
"Mungkin seminggu", jawab Naruto yang kemudian melempar kunci inggris yang baru saja dipakainya ke tumpukan peralatan bengkel yang lain.
"Aa, aku tahu. Kau rindu pada Hinata kan? Haha! Seminggu itu tidak lama Naruto. Kau tidak perlu memasang tampang semasam itu", Shikamaru kini mencoba menghibur sahabatnya itu.
". . ."
Naruto tidak membalas ucapan Shikamaru. Hal ini membuat Shikamaru mengernyitkan dahi. Jujur Shikamaru tidak pernah mendengar atau melihat Naruto mempermasalahkan tentang apa yang dilakukan Hinata. Tapi kali ini kenapa lain? Sebenarnya kenapa Naruto begitu kesal dengan kepergian Hinata dan keluarganya walau hanya dalam waktu yang sebentar?
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Seminggu telah berlalu. Keluarga baru Hyuuga telah kembali dari liburan, atau lebih tepatnya bulan madu keliling Eropa ke kediaman mereka. Seharusnya bagi orang yang memiliki pengalaman menyenangkan seperti ini, terlihat lebih ceria saat kembali ke tempat asalnya. Tapi tidak bagi Hinata. Wajahnya sama kusutnya dengan kertas yang diremukkan dan siap dibuang ke tong sampah.
Menurutnya itu bukan liburan, hanya pelarian saat kau bosan di negaramu sendiri. Bayangkan saja! Pagi-pagi sekali Hiashi dan Sakura sudah meninggalkan hotel untuk jalan-jalan. Mereka sama sekali tidak mengajak Hinata untuk pergi bersama mereka. Padahal seharusnya itu momen yang tepat agar keluarga baru mereka menjadi lebih akrab.
Membosankan.
Ingin saja rasanya Hinata langsung terbang pulang ke Jepang. Tapi anak manja ini tidak berani melakukannya sendirian. Mau tidak mau, dia harus menunggu hingga waktu seminggu berakhir, dan pulang bersama ayah dan ibu tirinya.
Hinata berjalan dengan malas menyusuri koridor sekolahnya untuk melaksanakan kegiatan akademisnya seperti biasa. Begitu suntuknya, hingga Hinata tidak menghiraukan lengkingan suara Naruto yang sedang bercanda dengan teman-teman sekelasnya. Naruto memang suka berkunjung ke kelas Hinata. Bukan hanya karena ada Hinata, tapi juga karena beberapa teman sekelas Hinata adalah sahabat Naruto sejak SMP. Terlihat sekali sepertinya mereka sedang membahas sesuatu yang menyenangkan. Sebab suara tawa mereka menjadi headline yang memenuhi kelas Hinata pagi ini.
Hinata meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk dengan dagu bersandar si salah satu telapak tangannya. Dia tidak menyadari saat Naruto dan teman-temannya yang lain sedang menghampirinya.
"Hai, Sweety. Bagaimana liburanmu selama seminggu?", Naruto memulai pembicaraan.
Hinata hanya diam. Dia sedang tidak mood membicarakan tentang liburannya yang membosankan itu.
"Kenapa tidak menjawab Hinata? Ya sudah kalau kau tidak mau cerita. Kami ke sini mau menawarkan niat baik untukmu", tawar Kiba saat Hinata tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan Naruto.
"Bantuan?", tanya Hinata heran.
"Iya, bantuan. Kau kan tidak masuk sekolah selama seminggu. Pastinya kau sudah ketinggalan pelajaran. Belum lagi ada beberapa tugas dari guru yang mungkin kau tidak mengerti mengerjakannya. Itu sebabnya aku, Shikamaru, Kiba, dan Lee akan membantumu untuk mengejar ketinggalanmu. Dan juga kami akan membantu menyelesaikan tugas-tugasmu", jelas Naruto panjang kali lebar.
"Kenapa kau harus ikut juga Naruto? Kau kan tidak sekelas dengan kami", celetuk Lee.
"Kau pikir aku akan membiarkan pacarku sendirian saat bersama kalian?", Naruto balik bertanya.
"Sudah-sudah, tidak perlu ribut", ucap Shikamaru. Dia memang selalu lebih bijak dari teman-temannya yang lain.
"Lagipula ide ini kan datangnya dari Naruto. Jadi biarkan dia ikut", lanjut Shikamaru. Naruto menyeringai.
"Tapi bagaimana caranya? Aku tidak bisa pulang telat. Begitu jam sekolah berakhir, aku harus langsung pulang", tanya Hinata.
"Itu masalah gampang Hinata. Kami yang akan ke rumahmu", giliran Kiba menyeringai. Naruto, Shikamaru, dan Lee mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Ya, kalau begitu sih tidak masalah pikir Hinata. Tapi seringai mereka terlalu berlebihan. Apa mereka begitu senang bisa membantu Hinata belajar? Atau mungkin mereka mempunyai niat lain?
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sesampainya di rumah Hinata.
"Ah, Hinata. Kau sudah pulang. Mm, teman-temanmu juga datang ya?", sambut Sakura saat Hinata pulang.
Belum sempat Hinata membuka mulut, Kiba dan Lee menjawab pertanyaan Sakura.
"Ya. Kami teman-temannya Hinata. Sedang berkenalan dengan anda, Bibi!", ucap mereka serentak dengan semangat '45.
Sakura mengernyitkan dahi. "Panggil saja Sakura-san".
"Baik, Sakura-san", lagi-lagi mereka menjawab serentak dengan memasang tampang orang yang mau mimisan.
'Konyol! Dia minta aku untuk memanggilnya ibu daripada Sakura-san. Tapi di depan teman-temanku, dia ingin dipanggil Sakura-san daripada bibi. Ada-ada saja', gumam Hinata dalam hati.
"Ayo masuk. Aku buatkan minum dan makan siang untuk kalian", ajak Sakura.
Mereka berempat menghambur masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Hinata di luar. Hinata hanya mendesah kemudian ikut masuk ke dalam.
"Wah, Hinata. Ibu tirimu cantik sekali. Masih muda lagi. Jika kalian jalan berdua, pasti orang-orang mengira kalau kalian ini kakak-adik. Kalian sama sekali tidak terlihat seperti ibu dan anak", celoteh Lee begitu mereka duduk di ruang tamu.
Hinata memijit-mijit pelipisnya sambil berharap kebisingan ini segera berakhir dan mereka bisa langsung membantu Hinata belajar.
"Oh ya! Pasti Sakura-san repot kalau sendirian. Aku akan membantunya menyiapkan makan siang", kata Naruto.
"Aku juga ikut", Kiba mengikuti langkah Naruto ke dapur.
Tinggal Hinata, Shikamaru, dan Lee yang ada di ruang tamu.
"Baiklah, Hinata. Ini adalah catatan-catatanku selama seminggu ini", Lee mengeluarkan buku catatan dari tasnya. "Kalau tidak mengerti kau boleh bertanya padaku".
"Dan ini adalah tugas-tugas yang diberikan dari guru kita saat kau tidak masuk. Catatannya sudah ada dari buku Lee. Jika ada soal yang kau tidak mengerti mengerjakannya, kau bisa tanya padaku atau Kiba", lanjut Shikamaru.
"Ya. Terima kasih", ucap Hinata.
Terdengar suara tawa dari dapur. Sepertinya memasak adalah hal yang menyenangkan. Hinata tidak menyadari saat Shikamaru dan Lee meninggalkannya untuk menyusul Naruto dan Kiba ke dapur. Dia terlalu sibuk memindahkan catatan-catatan dari buku Lee sambil mengerjakan esai yang sudah dia temukan jawabannya.
"Makan siang sudah siap!", teriak Sakura dari dapur.
Hinata bangkit dari duduknya untuk melihat ketiga teman dan pacarnya sudah duduk dengan anteng di ruang makan. Kalau saja mereka tidak tahu tata krama, mereka pasti sudah menyantap makanan mereka tanpa menunggu kedatangan Hinata.
'Sepertinya ini bukan hari yang menyenangkan bagiku', pikir Hinata.
Ide gila terlintas di pikiran Kiba saat makan siang telah selesai. "Kita mandi di kolam renang yuk!"
"Ide yang bagus. Cuacanya cukup mendukung untuk berenang", sahut Sakura.
Sebenarnya Shikamaru dan yang lain sempat berpikir untuk menolak ide gilanya Kiba. Namun saat Sakura mengaku setuju dengan idenya Kiba, mereka langsung bersemangat dan rasanya ingin saja langsung terjun ke kolam renang. Sakura pasti kelihatan seksi dengan pakaian renangnya pikir mereka.
Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya lalu bangkit dari kursinya. "Kalian saja. Masih banyak esai yang harus aku kerjakan".
"Yah, tidak seru dong Hinata. Tapi kan ada Sakura-san. Pasti tetap menyenangkan", ucap Lee dengan mata berapi-api.
Hinata merasakan sesuatu yang aneh di perutnya saat mendengarkan suara tawa maniak dari teman-teman dan pacarnya. Sepertinya makanan yang baru saja dia makan menolak untuk dicerna dan keluar lagi dari mulutnya. Dia meletakkan buku catatan Lee di atas tasnya dan merapikan barang-barangnya untuk dibawa ke kamarnya. Dia memilih untuk tidur siang. Catatan dari Lee sudah selesai dia pindahkan. Hanya sedikit lagi soal-soal esai yang belum selesai dan dia bisa mengerjakannya nanti. Otaknya cukup cerdas untuk mengerjakan soal-soal seperti itu. Dia hanya sedikit lelah.
Setelah mengganti bajunya dengan kaos dan celana pendek, Hinata menyempatkan diri melihat ke kolam renang melalui jendela kamarnya.
"Bilang saja mau bertemu ibu tiriku. Tidak perlu memakai alasan ingin membantuku belajar. Aku bahkan mampu mengerjakan semuanya sendiri tanpa dibantu sedikitpun. Huff!", Hinata mendesah sebelum akhirnya terlelap di atas ranjangnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sebulan telah berlalu setelah pernikahan Hiashi dan Sakura. Di luar dugaan Hinata, keluarga baru ini begitu rukun. Padahal Hinata mengira bahwa Sakura akan flirting dengan pria lain. Dia juga tidak banyak meminta ini itu seperti saat pernikahannya dulu. Ini membuat Hinata percaya kalau Sakura menikah dengan ayahnya karena cinta.
Naruto juga semakin sering berkunjung ke kediaman Hyuuga. Percaya atau tidak, Hinata menjadi iri. Namun Hinata bukan iri terhadap Sakura, melainkan iri terhadap Naruto. Karena Naruto begitu akrab dengan Sakura. Hinata heran. Bagaimana mungkin orang luar seperti Naruto jauh lebih akrab dengan ibu tirinya dibandingkan dirinya sendiri yang tinggal serumah dengan Sakura.
Hiashi juga tidak keberatan dengan seringnya Naruto berkunjung ke kediaman Hyuuga. Terkadang Hiashi sudah menganggap Naruto seperti anaknya sendiri.
"Ayah akan berada di Hokkaido selama 2 hari. Ada proyek yang harus ditanda tangani. Jadi selama di sana, sekalian ayah ingin melihat lokasi pengembangan proyeknya", kata Hiashi saat bersiap-siap berangkat ke Hokkaido.
"Sekarang ayah sudah tidak khawatir lagi jika bepergian ke luar kota. Karena ada Sakura yang akan menemanimu", lanjut Hiashi.
"Ya ayah", ucap Hinata singkat.
"Baiklah. Kalau begitu ayah pergi dulu. Kau langsung berangkat ke sekolah saja. Sakura yang akan ikut ke bandara bersama ayah", Hiashi pamit.
"Hati-hati di jalan ya, yah!", Hinata melambaikan tangannya saat mobil beranjak dari kediaman Hyuuga.
'Saatnya pergi ke sekolah'. Hinata pun masuk ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke sekolah.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Sesampainya di sekolah, Hinata langsung menghampiri ketiga sahabatnya. Sepertinya mereka sedang asyik membicarakan sesuatu. Tapi Hinata yakin mereka tidak sedang bergosip. Justru mereka benci sekali membicarakan hal yang tidak penting.
"Pagi!", sapa Hinata ramah.
"Pagi, Hinata!", sahut mereka serentak.
"Kalian sedang membicarakan apa? Sepertinya seru sekali", tanya Hinata tanpa basa basi lagi.
"Begini Hinata. Hari ini kami berencana untuk menginap di villaku yang berada di daerah pegunungan. Setelah pulang sekolah nanti, kami langsung menuju ke sana", kata Guren memulai pembicaraan.
"Iya Hinata. Kami telah membicarakan hal ini saat berada di rumah Guren. Waktu itu kau kan tidak datang", sambung Temari.
'Rencana yang menyenangkan', pikir Hinata. 'Pasti ini jauh lebih menyenangkan dari liburan ke Eropa waktu itu', Hinata masih berkutat dengan pikirannya.
"Apa aku boleh ikut?", tanya Hinata.
"Tentu saja, Hinata! Haha!", ucap Tayuya dengan nada sedikit berteriak sambil memukul bahu Hinata.
Hinata hanya tersenyum tipis sambil mengelus-elus bahunya. Tayuya memang lebih tomboy jika dibandingkan dengan sahabatnya yang lain. Sebenarnya pukulan Tayuya tadi tidak sakit. Tapi Hinata cukup terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba.
"Ya sebenarnya kami juga ingin mengajakmu Hinata. Tapi bagaimana dengan ayahmu? Pastinya sulit kan untuk meminta izinnya?", tanya Guren sedikit khawatir.
Hinata tersenyum dengan lebar. "Ayahku sedang berada di Hokkaido. Dan mengenai ibuku, dia pasti akan mengizinkanku. Dia kan masih muda. Dia pasti mengerti".
"Wah! Kalau begitu bagus dong Hinata. Tapi kita akan menginap di sana", kata Temari.
"Menginap pasti lebih seru. Tapi apa kita tidak berkemas dulu untuk membawa pakaian ganti", tanya Hinata.
"Aku punya banyak baju ganti yang pasti muat untuk ukuran kita di villa", jawab Guren bersemangat.
"Dengan begitu tidak ada masalah lagi kan?", Tayuya meyakinkan.
Pembicaraan mereka ditutup dengan tawa saat bel masuk jam pertama berbunyi.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Moshi-moshi", jawab Sakura di ujung telepon.
"Ah, Ibu. Aku minta izin tidak pulang malam ini. Aku diajak menginap di villa salah satu temanku. Boleh kan, Bu?", Hinata meminta izin kepada ibunya.
"Tentu saja boleh, Hinata. Oh ya! Apa kau tidak pulang dulu?", tanya Sakura.
"Tidak, Bu. Kami akan berangkat sekarang juga. Agar kami punya lebih banyak waktu di sana", jawab Hinata.
"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya!", kata Sakura.
"Baik Bu", Hinata menutup teleponnya.
'Saatnya menghubungi Naruto', pikirnya.
Beberapa saat kemudian, Temari menghampiri Hinata untuk mengajaknya ke mobil Guren.
"Ayo Hinata! Kita berangkat sekarang", ajak Temari yang kemudian bingung melihat tingkah temannya.
"Kau sedang menghubungi siapa Hinata? Ibumu ya?", tanya Temari.
"Aku sudah menghubunginya dan dia mengizinkanku pergi. Sekarang aku ingin menghubungi Naruto. Tapi dia tidak mengangkat teleponku", jawab Hinata.
"Mungkin dia sedang menghadiri sebuah rapat", Temari coba menenangkan Hinata.
"Ya. Mungkin saja. Ayo pergi", Hinata dan Temari melangkah ke arah mobil Guren.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Naruto?", Hinata menjawab teleponnya.
"Kau ada di mana Hinata? Sakura-san bilang kau tidak pulang malam ini", tanya Naruto.
"Aku sedang berada di villanya Guren bersama Temari dan Tayuya. Aku sudah mencoba menghubungimu untuk memberitahukannya", jawab Hinata.
"Oh. Aku kira kau membutuhkan bantuanku. Makanya aku langsung menuju ke rumahmu saat melihat panggilan tak terjawab darimu", ucap Naruto lega.
"Tidak. Aku hanya ingin memberitahukanmu kalau aku ada di sini dan tidak pulang malam ini. Kalau begitu kau pulang saja", kata Hinata lembut seperti biasa.
"Ya sudah. Hati-hati ya!", ucap Naruto lalu menutup teleponnya.
Suasana di daerah sekitar villa sangat menyenangkan. Udara yang segar yang jarang bisa didapatkan di kota yang selalu sibuk dan pada penduduk. Villa ini juga cukup luas dan nyaman untuk ditempati. Harusnya ini menjadi malam yang menyenagkan bersama teman-teman saat sebuah telepon dari keluarga Temari merusak suasana bagus yang sudah direncanakan sebelumnya.
"Apa! Kankuro kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit? Baiklah, aku akan segera ke sana", Temari menutup teleponnya dengan panik.
"Aku harus pulang. Kakakku masuk rumah sakit", kata Temari sambil mengumpulkan barang-barangnya.
"Kami ikut", kata Guren.
"Tidak usah. Kalian di sini saja. Aku akan pulang sendiri", Temari melarang.
"Tapi Temari, sangat susah mencari kendaraan umum di sini. Satu-satunya jalan adalah kami ikut pulang bersamamu dengan mobilku", Guren menjelaskan.
"Maaf ya teman-teman. Aku jadi merusak suasana", sesal Temari.
"Jangan bicara seperti itu. Ini adalah musibah", Tayuya menenangkan Temari.
"Tayuya dan Guren benar. Kami akan ikut pulang bersamamu", kata Hinata.
Dengan begitu, keempat sahabat itu meninggalkan villa Guren untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun Guren harus mengantarkan Temari ke rumah sakit.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Sampai jumpa semuanya. Temari, sampaikan salamku pada Kankuro-Nii ya!", kata Hinata saat mereka tiba di rumah Hinata.
"Ya Hinata. Sampai jumpa", mobil pun melaju setelah Temari membalas ucapan Hinata.
Ini sudah hampir tengah malam. Sakura pasti sudah tidur. Semoga saja masih ada pelayan yang terbangun yang bisa membukakan pintu untuknya. Namun langkah masuk Hinata terhenti saat dia melihat motor Naruto yang sedang parkir di halaman rumahnya.
'Naruto masih di sini?', tanya Hinata dalam hati.
Tanpa buang waktu, Hinata langsung masuk ke dalam rumah yang ternyata pintunya tidak terkunci, untuk mencari Naruto. Hinata bisa melihat tas dan barang-barang Naruto yang lain juga masih berada di ruang tamunya. Namun Hinata tidak menemukan Naruto di sana.
'Kenapa pintunya tidak terkunci? Apa karena Naruto masih di sini? Sebenarnya ada di mana dia?', Hinata makin penasaran.
Tiba-tiba Hinata mendengar sebuah suara dari kamar ayahnya. Seperti suara desahan. Tapi terlalu kuat sehingga Hinata bisa mendengarnya dari ruang tamu. Pasti pintu kamar itu sedang terbuka. Hinata menganggap itu sebagai hal yang lumrah sampai dia teringat bahwa ayahnya sedang berada di Hokkaido saat ini. Apa mungkin ayahnya tidak jadi berangkat atau mungkin pulang lebih awal?
Hinata berniat untuk memastikan dan kemudian melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu menuju kamar ayah dan ibunya. 'Mengintip sedikit tidak apa-apa kan?', pikirnya.
Namun apa yang dilihat Hinata saat ini, benar-benar bukanlah hal yang dia duga. Di depan matanya, Sakura -ibu tirinya- dan Naruto –pacarnya-, sedang bercumbu dengan mesra di dalam kamar ayahnya. Hinata tersentak, lututnya melemas. Dia kemudian menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Tidak percaya dengan apa yang dia lihat, Hinata mulai meneteskan air matanya.
Kelihatan sekali bahwa mereka sangat menikmati apa yang mereka lakukan. Sakura melepaskan satu persatu kancing kemeja Naruto untuk kemudian menanggalkannya. Sakura sendiri hanya memakai piyama terusan.
Hinata merasa sesak nafas, padahal dia sendiri tahu bahwa dia tidak punya penyakit seperti itu. Rasanya begitu menyesakkan di dalam dadanya. Dia berharap bahwa semua yang dia lihat ini adalah mimpi. Jika ini memang mimpi, dia berharap akan cepat terbangun sebelum dirinya menjadi gila.
Tapi sayang ini bukan mimpi. Hinata mulai kehilangan kuasa. Dia mencoba mencari pegangan agar tidak ambruk saat itu juga. Dia meletakkan satu tangannya di atas meja yang berada di sebelah pintu bagian luar kamar. Namun sial, Hinata tidak sengaja menyenggol vas bunga yang ada di atasnya sehingga vas itu jatuh ke lantai. Suara vas yang membentur lantai membuat Sakura dan Naruto terkejut lalu menghentikan kegiatan mereka.
Hinata yang jauh lebih terkejut serasa menemukan kekuatannya kembali. Hinata berlari menuju pintu keluar utama dari rumahnya. Tidak ingin terlihat bahwa dia telah memergoki ibu tiri dan pacarnya sedang selingkuh.
Naruto juga keluar dari kamar untuk mencari sumber suara berisik yang mengganggu mereka dan melihat punggung Hinata yang sedang berlari keluar dari rumah.
"Hinata!", Naruto terkejut dan langsung mengejar Hinata. Paling tidak ada yang bisa dia jelaskan kepada Hinata.
Hinata tidak melihat sisi jalan saat berlari sehingga dia hampir saja tertabrak taksi yang sedang melintas.
"Hey, Nona. Perhatikan jalanmu!", teriak supir taksi itu.
Hinata yang sedang linglung kemudian masuk ke dalam taksi untuk menghindari kejaran Naruto.
"Jalan", ucapnya pelan.
Supir taksi yang sedang kebingungan hanya diam.
"Jalan! Aku akan bayar berapapun jika kau membawaku pergi dari sini", perintah Hinata sedikit berteriak.
"Ba-Baik, Nona!", supir taksi pun mengendarai taksinya menjauh dari kediaman Hyuuga.
Hinata menangis sejadi-jadinya di dalam taksi yang membuat supir taksi sedikit khawatir. Namun dia tetap menyetir atas perintah penumpangnya itu.
Naruto melihat Hinata memasuki taksi dan berniat mengejar dengan motornya. Namun akhirnya dia sadar bahwa dia lupa meletakkan kunci motornya di mana.
"Sial!", teriaknya.
Sakura berdiri di depan pintu menyaksikan Naruto yang sedang panik.
"Naruto. Kita harus bicara", ucapnya dengan nada suara yang tidak kalah paniknya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Hinata terus memandang keluar jendela. Bayangan tentang kejadian yang baru saja dia lihat masih terngiang-ngiang di dalam benaknya. Belum lagi kekesalannya kepada supir taksi yang terus-terusan bertanya kemana tujuannya. Hinata sadar ini sudah sangat larut malam. Pasti supir taksi ini sudah sampai di rumahnya jika saja Hinata tidak masuk ke taksinya dan menyuruhnya untuk berkeliling-keliling dengan taksinya.
Namun Hinata tidak tahu kemana harus pergi. Hinata lalu membayangkan 3 orang sahabatnya. Temari, tidak mungkin. Dia pasti sedang berada di rumah sakit sekarang. Dan Hinata tidak mau menambah masalah Temari dengan kedatangannya. Guren, juga tidak mungkin. Dia sudah berjam-jam menyetir satu hari ini. Dia pasti sangat lelah dan sudah terlelap dalam tidurnya. Hinata tidak mau mengganggu istirahatnya Guren.
Sepertinya pilihan tersisa pada Tayuya. Gadis ini terkenal dengan insomnianya. Dan dia juga selalu cuek dengan masalah orang lain. Dia pasti tidak akan bertanya tentang kedatangan Hinata ke rumahnya. Hinata hanya perlu mencari alasan jitu yang mampu mengelabui Tayuya.
"Halo! Ada apa Hinata?", tanya Tayuya begitu dia mengangkat teleponnya.
"Kau sudah tidur Tayuya?" tanya Hinata balik.
"Belum. Aku sedang memasak makan malam. Lapar sekali rasanya setelah perjalanan jauh. Haha!", jawab Tayuya dengan tawa khasnya.
"Mm, aku boleh bermalam di rumahmu tidak? Sepertinya orang-orang di rumahku sudah pada tidur. Tidak ada yang membukakan pintu untukku", Hinata berbohong.
"Tentu saja boleh Hinata. Bagus sekali malah. Ada yang membantuku menghabiskan masakanku. Sepertinya terlalu banyak untuk porsi 1 orang", Tayuya berceloteh ria di teleponnya. Namun Hinata tidak memperhatikan semua yang dikatakan Tayuya. Dia hanya ingin malam ini berakhir dengan cepat.
Sesaat setelah menutup teleponnya, Hinata memberitahukan tujuannya kepada supir taksi yang sudah mulai mengantuk sejak tadi. Dia langsung menyunggingkan senyum begitu tahu perjalanan penumpangnya akan segera berakhir.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
Keesokan harinya saat pulang dari rumah Tayuya, Hinata ragu-ragu untuk melangkah masuk ke rumahnya. Tapi ini adalah rumahnya sendiri. Seharusnya Sakura lah yang merasa malu untuk masuk ke rumah ini.
Begitu masuk, Hinata hanya punya satu tujuan. Menemuimu salah satu pelayan di rumahnya.
"Anda sudah pulang Hinata-sama?", sapa seorang pelayan yang dihampiri Hinata.
"Ya, baru saja. Aku ingin bertanya. Apa kau tahu jam berapa Naruto pulang tadi malam?", tanya Hinata penuh selidik.
"Tadi malam? Naruto-san sudah pulang sejak sore. Dan sepertinya dia tidak kembali lagi tadi malam", jawab pelayan itu.
Hinata mengernyitkan dahi. "Memangnya kalian ada di mana tadi malam?", Hinata menyadari keabsenan para pelayannya tadi malam di kediaman Hyuuga.
"Err . . . itu", pelayan itu bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan Hinata.
"Jawab saja dengan jujur. Aku tidak akan mengadukannya pada ayah", Hinata meyakinkan pelayannya.
"Kami semua pergi ke pub untuk merayakan ulang tahunnya Juugo. Semua biayanya ditanggung oleh Sakura-sama", jawab pelayan itu dengan yakin.
Terjawablah sudah semua pertanyaan yang membingungkan Hinata. Ini semua sudah direncanakan. Dan rencana itu berhasil karena adanya suatu kebetulan. Kebetulan yang sempurna. Keberangkatan ayahnya ke Hokkaido, Hinata yang bermalam di villa Guren, dan pesta ulang tahun salah satu bodyguard ayahnya -Juugo-.
"Aku sedikit pusing. Aku akan beristirahat di kamar. Jika ayah sudah pulang, tolong katakan padanya ada yang ingin aku bicarakan", kata Hinata seraya beranjak ke kamarnya.
"Baik, Hinata-sama", pelayan itu membungkukkan badannya.
Saat berjalan ke kamarnya, Hinata berpapasan dengan Sakura. Sakura membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Namun Hinata memotongnya dengan membanting pintu kamarnya.
.
/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\^o^/^o^\
.
"Hinata-sama. Hiashi-sama menunggu anda di ruangannya", seorang pelayan memanggil Hinata dari luar kamarnya.
"Ya", sahut Hinata singkat.
Dia telah berpikir dengan matang satu hari ini. Dan dia harap, keputusannya adalah yang terbaik untuk saat ini. Dia juga sudah memikirkan segala macam resiko yang akan dia hadapi saat berbicara dengan ayahnya nanti.
Sakura yang melihat Hinata berdiri di luar ruang kerja Hiashi hanya bisa bergumam 'Tamatlah riwayatku'.
Hinata melangkah masuk ke ruang kerja ayahnya dan duduk di seberangnya. Ayah dan anak ini saling bertatapan. Terlintas keraguan di mata Hinata saat menatap mata dingin ayahnya. Namun dia harus berani seperti seorang Hyuuga sejati. Dia tidak akan menyerah hanya karena masalah ini.
"Apa tujuanmu datang kemari Hinata?", tanya Hiashi datar.
Hinata mengangkat kepalanya dengan mantap. Dia sudah yakin dengan apa yang akan diucapkannya kepada ayahnya.
"Ada hal penting, yang ingin aku bicarakan dengan Ayah", jawab Hinata sama datarnya.
Hiashi memperbaiki posisi duduknya. Dia menganggap orang yang berbicara di hadapannya saat ini bukanlah putrinya. Melainkan seorang pewaris Hyuuga.